Truth-Berdasar Pembacaan Terhadap Buku Simon Blackburn

Pikiran kita memiliki kemampuan kategorisasi yang memungkinkannya memisahkan satu jenis tertentu dengan jenis tertentu lainnya. Potensi ini kemudian dapat melakukan struktur pengetahuan sehingga ia mampu membedakan pengetahuan mana yang benar ataupun sebaliknya yaitu salah. Kemampuan dikotomistik mind berproses--dalam kritisistiknya—membedakan mana yang benar dan mana yang illusif atau great evil. Pertanyaan besarnya ialah faktor penentu apakah yang membuat pengetahuan itu benar atau salah? Apakah perspektif atau paradigma subjek? Sensus komunis? Atau kekuasaan yang membuatnya benar? Bila demikian, pengetahuan tersebut telah melakukan justifikasi terhadap pengetahuan lain. Apakah dengan demikian pengetahuan lain itu salah?

Pertanyaan mendasar ialah apa yang menjadikan pengetahuan itu benar? Realisme akan menjawab bahwa fakta yang terukur itu pasti benar. Namun, realisme terlalu mengambil cepat kesimpulan, bagaimana dengan fakta yang tidak terukur misalnya permasalahan qualia? Bila jatuh pada pemasalahan qualia, jangan-jangan kebenaran itu ialah belief pada mind kita masing-masing! Ingat pada Locke, kualitas primer tidak akan kita capai karena sifatnya noumena sehingga kita hanya dapat menangkap kualitas sekundernya saja. bila kita tanda pada Davidson, content itu sama namun sistemnya saja yang berbeda, jadi ini adalah usaha kita dalam interpretasi. Permasalahnnya ialah Davidson tidak bertendensi pada content itu sebagai truth melainkan interpretasi yang membuatnya truth. Sedangkan prinsip pengetahuan menurut Blackburn ialah new discovering, pembaharuan, tested, dan sisi pragmatis. Apakah dengan demikian permasalahan truth itu sudah terjawab? Letaknya dimana?

Truth—sesuatu itu benar apabila: 1. Sudut pandang subjek membuatnya menjadi truth(ingat bahwa sudut padang orang terhadap permasalahan itu beragam di dalam beragam pula permasalahan). Ini berimplikasi pada no single truth; 2. Belief of society sebagai determinasi untuk menghilangkan rasa cemas dalam diri manusia. Ini berimplikasi pada ketidakotentikan subjek dan manipulasi terhadapnya; 3. Keotentikan subjek melahirkan fiksi yang diciptakan sendiri olehnya. Implikasinya ialah truth itu dikonstruksi. 4. Truth itu ada tapi kita tidak dapat dicapai karena batas kemampuan manusia. Implikasinya ialah truth itu selalu terpisah dari subjek.

4 poin truth di atas menunjukkan ada dua sifat yang melekat pada truth yaitu alamiah dan konstruktif. Alamiah itu tidak bisa dicapai dan konstruktif bersifat evolutif. Jadi, pegangan yang palinga memungkinkan ialah truth sebagai konstruktif yang bersifat evolutif. Lacking of truth dalam proses evolutif dapat dianggap sebagai ketertundaan sekaligus pengungkapan terhadap keluasan pengetahuan mengenai lacking of truth. Jadi truth dapat diletakan pada becoming comprehensive our knowledge.

Becoming comprehensive ialah kondisi terus menerus terisinya kekosongan dalam situasi dialektika. Namun, comprehensive ini sendiri sebenarnya tidak akan bisa tercapai apabila masih ada situasi force di dalamnya sehingga dalam usahanya selalu becoming. Hal yang ingin ditekankan di sini yaitu penyingkapan-penyingkapan ada yang berkelanjutan. Truth itu sejauh bagaimana pikiran kita dapat terbuka pada pemahaman baru, menyesuaikan diri di terhadapnya, melakukan kitik dan analisa tajam, menentukan posisi, mempertahankannya, dan membuka diri kepada pemahaman baru selanjutnya bila posisi kita tidak bisa dipertahankan lagi.

Langkah selanjutnya ialah apabila pegangan yang paling memungkinkan adalah truth of constructed maka apakah dapat memahami the other mind? Bila Davidson dan Blackburn melakukan usaha interpretasi dan pemahaman untuk mengetahui the others, sejauh mana kita memahaminya? Apakah dengan demikian kita mengaffirmasi kebenaran mereka? Pengakuan terhadap perbedaan harus terlebih dahulu ada karena yang organizing itu ditunda dan mengalami keterbukaan terhadap yang organized. Affirmasi kebenaran the other muncul dari pengakuan terhadap perbedaan tersebut, namun sebatas etika sosial dominan melingkupinya. Apakah ini tidak mereduksi dan justru menegasikan kebenaran secara partikular? Inilah akibat tatanan pikiran manusia yang one vs. the many. The greatest happiness for the greatest number. The other akhirnya tetap melekat pada dirinya penuh secara independent.

0 komentar:

Posting Komentar