Rss Feed

Truth-Berdasar Pembacaan Terhadap Buku Simon Blackburn

Pikiran kita memiliki kemampuan kategorisasi yang memungkinkannya memisahkan satu jenis tertentu dengan jenis tertentu lainnya. Potensi ini kemudian dapat melakukan struktur pengetahuan sehingga ia mampu membedakan pengetahuan mana yang benar ataupun sebaliknya yaitu salah. Kemampuan dikotomistik mind berproses--dalam kritisistiknya—membedakan mana yang benar dan mana yang illusif atau great evil. Pertanyaan besarnya ialah faktor penentu apakah yang membuat pengetahuan itu benar atau salah? Apakah perspektif atau paradigma subjek? Sensus komunis? Atau kekuasaan yang membuatnya benar? Bila demikian, pengetahuan tersebut telah melakukan justifikasi terhadap pengetahuan lain. Apakah dengan demikian pengetahuan lain itu salah?

Pertanyaan mendasar ialah apa yang menjadikan pengetahuan itu benar? Realisme akan menjawab bahwa fakta yang terukur itu pasti benar. Namun, realisme terlalu mengambil cepat kesimpulan, bagaimana dengan fakta yang tidak terukur misalnya permasalahan qualia? Bila jatuh pada pemasalahan qualia, jangan-jangan kebenaran itu ialah belief pada mind kita masing-masing! Ingat pada Locke, kualitas primer tidak akan kita capai karena sifatnya noumena sehingga kita hanya dapat menangkap kualitas sekundernya saja. bila kita tanda pada Davidson, content itu sama namun sistemnya saja yang berbeda, jadi ini adalah usaha kita dalam interpretasi. Permasalahnnya ialah Davidson tidak bertendensi pada content itu sebagai truth melainkan interpretasi yang membuatnya truth. Sedangkan prinsip pengetahuan menurut Blackburn ialah new discovering, pembaharuan, tested, dan sisi pragmatis. Apakah dengan demikian permasalahan truth itu sudah terjawab? Letaknya dimana?

Truth—sesuatu itu benar apabila: 1. Sudut pandang subjek membuatnya menjadi truth(ingat bahwa sudut padang orang terhadap permasalahan itu beragam di dalam beragam pula permasalahan). Ini berimplikasi pada no single truth; 2. Belief of society sebagai determinasi untuk menghilangkan rasa cemas dalam diri manusia. Ini berimplikasi pada ketidakotentikan subjek dan manipulasi terhadapnya; 3. Keotentikan subjek melahirkan fiksi yang diciptakan sendiri olehnya. Implikasinya ialah truth itu dikonstruksi. 4. Truth itu ada tapi kita tidak dapat dicapai karena batas kemampuan manusia. Implikasinya ialah truth itu selalu terpisah dari subjek.

4 poin truth di atas menunjukkan ada dua sifat yang melekat pada truth yaitu alamiah dan konstruktif. Alamiah itu tidak bisa dicapai dan konstruktif bersifat evolutif. Jadi, pegangan yang palinga memungkinkan ialah truth sebagai konstruktif yang bersifat evolutif. Lacking of truth dalam proses evolutif dapat dianggap sebagai ketertundaan sekaligus pengungkapan terhadap keluasan pengetahuan mengenai lacking of truth. Jadi truth dapat diletakan pada becoming comprehensive our knowledge.

Becoming comprehensive ialah kondisi terus menerus terisinya kekosongan dalam situasi dialektika. Namun, comprehensive ini sendiri sebenarnya tidak akan bisa tercapai apabila masih ada situasi force di dalamnya sehingga dalam usahanya selalu becoming. Hal yang ingin ditekankan di sini yaitu penyingkapan-penyingkapan ada yang berkelanjutan. Truth itu sejauh bagaimana pikiran kita dapat terbuka pada pemahaman baru, menyesuaikan diri di terhadapnya, melakukan kitik dan analisa tajam, menentukan posisi, mempertahankannya, dan membuka diri kepada pemahaman baru selanjutnya bila posisi kita tidak bisa dipertahankan lagi.

Langkah selanjutnya ialah apabila pegangan yang paling memungkinkan adalah truth of constructed maka apakah dapat memahami the other mind? Bila Davidson dan Blackburn melakukan usaha interpretasi dan pemahaman untuk mengetahui the others, sejauh mana kita memahaminya? Apakah dengan demikian kita mengaffirmasi kebenaran mereka? Pengakuan terhadap perbedaan harus terlebih dahulu ada karena yang organizing itu ditunda dan mengalami keterbukaan terhadap yang organized. Affirmasi kebenaran the other muncul dari pengakuan terhadap perbedaan tersebut, namun sebatas etika sosial dominan melingkupinya. Apakah ini tidak mereduksi dan justru menegasikan kebenaran secara partikular? Inilah akibat tatanan pikiran manusia yang one vs. the many. The greatest happiness for the greatest number. The other akhirnya tetap melekat pada dirinya penuh secara independent.

Solipsisme dan Absurditas

Apakah sebuah kata dapat sampai pada kepenuhan makna hanya dengan pendefinisian? Padahal secara faktual sebuah kata mengalami perubahan makna. Ini merupakan permasalahan bahasa apabila pertanyaan pertama ialah “apabila solipsisme berarti hanya diri kita yang mengetahui maka untuk apa kita menuliskan definisi tersebut?” Saya memiliki kecurigaan bahwa solipsisme tidak berhenti pada hilangnya komunikasi. Kedua, “apabila solipsisme berarti hanya diri kita yang mengetahui kemudian saya menuliskannya untuk diri saya sendiri maka bukankah kita akan terjatuh pada kondisi absurditas?” Ada perlunya kita kembali memeriksa kata solipsisme. Apakah pengertian solipsisme dapat dipertahankan? Apakah ada keterkaitan antara solipsisme dengan absurditas?

Permasalahan pertama ialah permasalahan definisi. Di dalam tugas pertama, saya mengambil definisi solipsisme dari kamus filsafat karangan Loren Bagus. Saya ialah eksistensi yang independen mengakibatkan suatu penegasian secara alamiah terhadap keberadaan orang lain. Eksistensi orang lain ialah dependen terhadap saya. Kesadaran saya sajalah yang membentuk adanya keberadaan orang lain. Apakah lantas solipsisme tidak dapat dikomunikasikan? Saya mengindikasikan adanya penyakit dalam penggunaan kata solipsisme, pertama solipsisme ini ialah sebuah penyakit yang kita ketahui dan tidak menyerang kita. Kondisi ini ialah ada pasien yang sedang menderita penyakit X yang kemudian kita namakan solipsisme. Penyakit solipsisme ini dapat kita komunikasikan rekan sejawat agar berhati-hati terhadap penyakit ini. Kedua solipsisme ini ialah penyakit yang sedang menyerang kita. Saya mengalami penyakit X yang tidak saya ketahui namun dapat menghasilkan epistemologis kemudian saya dapat mengkomunikasikan gagasan epistemologis ini kepada orang lain dalam bentuk variabel Y. Faktanya, solipsisme menghasilkan variabel Y yang dapat dikomunikasikan dan memajukan peradaban modern. Contohnya Descartes yang diindikasikan berpenyakit solipsisme menyebabkan kemandirian berpikir. Ketiga, solipsisme ialah sebuah kesalahan definitif dan kini tidak lagi mungkin diterangkan secara utuh. Kondisi gagalnya pendefinisian sebagai proses identifikasi terhadap penyakit karena implikasinya berjalan sebaliknya. Akibatnya ialah solipsisme tidak mengimplikasikan ketiadaan komunikasi atau ini bukan solipsisme.

Sebenarnya definisi solipsisme dapat dibantahkan karena Descartes mengimani adanya substansi langsung dari Tuhan sehinga Cogito itu ada. Landasannya ialah apabila solipsisme itu yang ada ialah diri sendiri, mengapa Descartes masih bergantung pada substansi Tuhan? Saya menangkap dari definisi Loren Bagus bahwa solipsisme sama dengan mengangkat diri kita menjadi Tuhan karena “saya adalah totalitas eksistensi” yang mengadakan keberadaan realitas. Pertanyaan selanjutnya ialah siapa yang telah menindikasikan Descartes sebagai solipsisme?

Permasalahan kedua ialah bagaimana kita dengan tepat menjelaskan hubungan antara solipsisme dan absurditas. Solipsisme telah dijelaskan di paragraf sebelumnya bahwa terurai menjadi berbagai kondisi dan dapat dikomunikasikan. Komunikasi mensyaratkan kehadiran makna. Berbeda dengan absurditas yang mengalami ketiadaan makna. Kondisi ketiadaan makna ialah kita tidak tahu apa yang kita perbuat dan untuk apa. Albert Camus menggambarkan seorang manusia yang terjebak dalam rutinitas keseharian. Apabila anda pernah menonton film “Veronica decide to die” maka dapat terlihat betapa hidup sudah tak berarti bagi diri saya dan satu-satunya jalan ialah bunuh diri. Apabila manusia hidup untuk mati mengapa saya tidak boleh memutuskan mati sekarang juga? Toh nantinya saya akan mati juga.

Solipsisme dapat menjadi absurd apabila tidak dapat dikomunikasikan sehingga ia tidak memiliki arti apapun karena yang ada ialah dirinya sendiri. Bila Descartes tidak mengkomunikasikan epistemologi dalam The Meditation maka ia mengidap penyakit solipsisme. Sebaliknya bahwa ia mengkomunikasikannya dengan cara menulisnya dan mempublikasikannya berarti dia tidak mengidap penyakit tersebut. Saat saya menulis ide pikiran saya ada kemungkinan saya mengidap solipsisme bahwa saya mengutarakan ide dari diri saya sendiri untuk diri saya juga. Tetapi kata-kata dimaksudkan bukan untuk kata-kata itu sendiri melainkan untuk dikomunikasikan maka solipsisme tidak menjadikan dirinya absurd.

Solipsisme pun dapat menjadi absurd ketika Descartes mengunggulkan reason sehingga meniadakan dimensi kesadaran moral. Ia menghadirkan subjek yang Cogito sebagai penghasil utama epistemologi menyebabkan kesamaan terhadap seluruh manusia tanpa memandang identitas. Levinas menyebutnya penyakit the sameness. Penyakit ini mengandung absurditas karena meniadakan the I dan the Other. Camus menyebutnya sebagai ketidakpedulian terhadap permasalahan sekitar. Solipsisme akan berguna sejauh bagaimana cara berpikir kita menghasilkan pengetahuan misalnya apa yang terjadi pada Immanuel Kant. Namun, solipsisme dapat menjadi absurd bila ia menghilangkan kesadaran moral manusia atau meniadakan kritisisme dalam berpikir.

Pemikiran Eksistensi Heidegger & Posisinya Terhadap Alam

Manusia dan Alam

Heidegger membedakan antara manusia dengan bukan manusia (the human and the nonhuman). Perbedaan ini mengangkat term eksistensi yang terekspresikan hanya untuk manusia saja. Hal ini dapat kita analisis dengan membaca statement Heidegger yaitu:

Heidegger writes: “The being that exist s man. Man alone exixts. Rocks are, but they do not exist. Trees are, but they do not exist. Horses are, but they do not exist. Angles are, but they do not exist. God is, but he does not exist.”

(Heidegger menulis: “being yang eksis ialah manusia. Hanya manusia yang eksis. Batu ada tetapi ia tidak eksis. Pohon ada tetapi tidak eksis. Kuda ada, tetapi mereka tidak eksis. Malaikat ada, tetapi mereka tidak eksis. Tuhan ada, tetapi ia tidak eksis.”)

Mengapa hanya manusia sajalah yang dibilang eksis oleh Heidegger? Yaitu karena kesadaran yang menjadikannya berbeda secara radikal dengan being yang lain. Jadi, kealamiahan eksistensi manusia ialah masuk akal mengapa manusia dapat menghadirkan being dan mengapa ia dapat menyadarinya.

Heidegger menyebut manusia yang eksis ialah Dasein, secara literal berarti ia berada di sana (“being-there”). Manusia ialah being yang ada di dunia dan ia harus keluar tinggal di kehidupannya dan melalui hubungan yang tidak terpisahkan terhadap dunia. Kemudian, Heidegger membedakan anatara manusia “being-in-the-world” dengan “being-in-the-midst-of-the-world”. “being-in-the-world” ialah manusia yang bereksistensi, sedangkan “being-in-the-midst-of-the-world” ialah manusia yang mengalami penurunan level pada objek material. Untuk menyatakan “being-in-the-midst-of-the-world”, Heidegger menamakannya sebagai ketenggelaman (fallenness-Verfallenheit). Ketenggelaman ini dikarenakan dunia yang bertransformasi oleh teknologi manusia. Heidegger menyebut dunia ini sebagai dunia publik. Dunia ini dihuni oleh das Man, ialah manusia sebagai instrumen untuk dimanipulasi dan berguna kepada publik. Contohnya ialah buruh di sebuah pabrik. Ia tidak lain adalah sebuah mesin yang tenggelam dalam kerutinitasannya sehingga ia lupa akan ontologi being yang mengakar dalam dia. Ia tidak paham apa yang ia kerjakan, tidak punya perasaan yang mendalam, hanya ketakutan yang picik, dan kecemasan neurosis. Sehingga, menurut Heidegger ia tidak percaya akan manusia yang menemukan arti dan kebenaran. Manusia sekarang hanya mencari kebenaran yang bersifat praktis.

Manusia, Teknologi dan Alam

Mengada

Istilah

Cara Mengada

Sikap Dasein

(Seinend)

Sehari-hari

(Seinart)

Sehari-hari

Zuhandenes

Alat-alat

Untuk sesuatu

Mengurus atau

(Um-Zu)

Menangani

(Besorgen)

Vorhandenes

Benda-benda

Tersedia begitu

Tanpa minat

yang bukan

saja

menangani

alat-alat

Mitdasein

Sesama manusia

Ada-bersama

Merawat atau

atau orang-orang

Mitsein

memelihara

lain

(Fürsorge)

Tebel[1]

Kita dapat memahami tabel diatas bahwa terdapat hierarki nilai antara das Sein, Zuhandenes, Vorhandenes danMitdasein. Vorhandenes ada begitu saja, merupakan bahan untuk manusia yang diolah dengan Zuhandenes.

Alam ialah apa-apa yang tersedia begitu saja di sekitar manusia. Alam dan manusia ialah faktisitas yaitu bersifat niscahya, kesadaran terlempar. Manusia cenderung mempertahankan hidupnya. Dalam usaha untuk mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan sesuatu. Sesuatu itu ialah alat yang diciptakan manusia dengan tujuan tertentu. Penciptaan terjadi, selain karena diharuskan oleh kondisi objektif manusia, tentunya juga karena alam memungkinkannya. Manusia memanipulasi alam dalam rangka mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan sesuatu, dan dalam rangka pemenuhan atas kebutuhan tersebut manusia menciptakan sesuatu.[2]

Konsep Heidegger dalam eksistensi manusia melalaikan alam sebagai bagian dari being in the world. Alam hanya bahan semata-mata untuk teknologi:

Starting from nature, there is no way of conceiveing the mode of being of the world and worldness; indeed, nature must be interpreted the other way round, starting from the existential structure of being in the world. Nature as such is indeed absent from Heidegger’s sketch of a ‘natural conception of the world.

Karl Löwith is, however, quite right to suppose that nature is not just the readiness in Being and Time, but indeed not addresses in its own right at all: ‘In Being and Time nature in its naturalness is ignored and, in contrast to the readiness to hand of equipment and to historical exixtence of human determinate exsistence, relegated to the most subordinated concept of the merely “present at hand”.”[1]



[1] Joanna Hodge, Heidegger and Ethics (New York: Rotledge, 1995), page 138.



[1] Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Mnuju Sein und Zeit (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Pusat Penelitian STF. Driyakara, 2003), hal. 60.

[2] Rizky Muhammad, Netralitas Teknolgi sebagai Konsekuensi atas Radikalisasi Pemikiran Heidegger tentang Teknologi (Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok2005), hal. 1

Two Mind in One Body

PENGANTAR

Perdebatan di dalam argumentasi Philosophy of mind mengenai mind and body selalu dilandasi oleh karakteristik dikotomistik. Namun, landasan tulisan ini, peneliti menggunakan pola argumentasi eksperimental atas pembuktian relasi antara mind and body; unvisible and visible. Landasan ini berdasarkan argumentasi yang telah diberikan sebelumnya yaitu di dalam ujian akhir semester bahwa dengan adanya studi mengenai mind akan semakin memperkuat affirmasi terhadapnya sehingga dikotomistik itu tidak ada melainkan relasi diantara keduanya.

Eksperimen yang akan dilakukan yaitu meneliti proses kehamilan (pregnancy) dan setelah melahirkan (after birth). Latar belakang diambilnya tema ini yaitu kondisi misterius (mind & body; kesadaran; psikologi) dalam tubuh perempuan yang memiliki pre-human di dalam ruang tubuhnya. Misterius dikarenakan di dalam satu tubuh mengandung dua jiwa. Kedua, efek psikologis yang ditimbulkan akibat hubungan 2 mind and 1 body. Metode yang dipakai yaitu fenomenologi, psikologi.

Permasalahan yang akan dibahas di dalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana coexistence mind and body dari eksperimen pregnancy?

2. Bagaimana coexistence mind and body dari eksperimen child birth?

3. Bagaimana menjelaskan genetik sebagai material-visible mengandung information-invisible?

PREGNANCY

Secara biologis kondisi pregnancy dijelaskan melalui pertemuan dua sel. Kemudian peleburan sel ini melakukan pembelahan diri hingga masa ±36 minggu hingga membentuk calon manusia sempurna. Pembelahan diri memungkinkan apabila berada pada cadangan makanan yang memungkinanya bertahan. Plasenta pregnant women menjadi tumpuan kehidupan fetus. Plasenta sebagai jalur nutrisi yang dialirkan dari makanan pregnant women.

Demikianlah kondisi singkat secara biologis saat masa pregnancy. Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana kondisi mood dan emosional pregnant women sebagai individu terpengaruh atas eksistensi fetus? Dan bagaimana kondisi fetus terpengaruh atas kondisi pregnant women? Bagaimana di dalam satu tubuh dapat dipengaruhi oleh sebuah sel secara psikologis berlainan?

Menurut studi psikologi, kondisi mood dan emosional saat pregnancy dipengaruhi oleh hormonal dalam tubuh dari menstrual menjadi dismenstrual sehingga kondisi stabil menjadi labil. Kedua ialah kondisi ekonomi keluarga. Dan ketiga ialah situasi lingkungan budaya dalam menanggapi pregnancy tersebut. Reaksi emosional setiap pregnant women ialah berbeda. Ada pregnancy yang membawa dampak depresi, cemas, dan ada pula kegembiraan menyambut kehidupan baru. Depresi dan kecemasan berasal dari ketakutan akan child birth yang nantinya akan menyakitkan. Ada pula faktor emosional yang begitu saja tidak menentu dan selalu berubah. Selain itu ketakutan pregnant women untuk menjadi gemuk sehingga ia merasa depresi atas kondisi kehamilan.

Demikian kondisi singkat secara psikologis. Terlepas dari 3 keterpengaruhan menurut psikologi, pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana kita dapat menjawab kondisi emosional pregnant women terhadap keberadaan fetus tersebut karena mereka berada dalam 1 tubuh? Bagaimana studi mengenai relasi keterpengaruhan antara pregnant women dengan fetus? Apakah semata-mata hanya genetik atau ada faktor lain?

Posisi pengamat

Kondisi biologis merupakan tahap logis mengenai bagaimana fetus dapat terbentuk. Psikologi menjelaskan bagaimana kondisi emosional pregnant women menjadi labil. Namun, apakah mereka dapat menjawab pertanyaan di bagian akhir paragraf? Mereka memang dapat menjelaskan secara ilmiah mengenai gen dan hormonal, namun apakah mereka dapat menjelaskan fenomena relasi antara satu gen pendahulu dengan gen baru. Gen baru merupakan peleburan antara dua gen pendahulu sehingga gen ini memiliki kandungan peleburan diantara keduanya.

Dalam menerangkan permasalahan ini, terdapat studi mengenai relasi antara pregnant women dengan fetus dari analisa kesehatan dan spiritualitas. Deepak Chopra adalah seorang pakar medis dalam perawatan kesehatan holistik. Ia meneliti tentang pregnancy dan child birth. Menurutnya fetus dalam memasuki triwulan kedua telah memiliki peralatan mendengar secara sempurna. Studi modern memastikan bahwa sejak berusia 18 minggu hingga 20 minggu, bayi yang belum lahir mendengar dan merespons suara-suara di dalam lingkungannya. Ritme dan suara manusia dapat didengar dan suara dari pregnant women-lah yang paling mudah dikenali. Ia pun dapat mengetahui apakah sensasi itu menyenangkan tau tidak menyenangkan. Kondisi emosional pregnant women dikomunikasikan kepada janin melalui molekul-molekul kimiawi yang dikeluarkan olehnya. Hal ini telah dibuktikan oleh para ahli biologi saraf dengan penelitian pemetaan otak dan pemindaian dengan metode PET (positron-emission tomography) bahwa setiap persepsi indrawi dan reaksi emosional yang terkait dengannya mengubah unsur-unsur kelistrikan dan kimia di tubuh kita.

Selain pendengaran, sistem somestetik yang meneruskan informasi yang terkait dengan sentuhan, suhu, dan perasaan sakit telah terbentuk dengan sempurna saat fetus berusia lima belas minggu. Ia dapat menyentuh wajahnya, dan menghisap jari-jarinya. Ia pun dapat merasakan perubahan suhu dan perasaan sakit. Fetus mengubah posisinya ketika sang pregnant women mengubah posisinya. Ia memiliki peralatan navigasi untuk mempertahankan diri.

Dari analisa di atas maka kesimpulannya ialah fetus dapat merasakan sensasi-sensasi indawi dan psikologis dari pregnant women. Namun, apakah fetus tersebut telah memilki mind sehingga ada umpan balik kepada pregnant women? Bagaimana pregnant women dapat merasakan kondisi psikis fetusnya? Apakah hal ini dimungkinkan? Bila dimungkinkan maka akan menjadi affirmasi atas two mind in one body.

Secara fenomenologi, fetus yang berusia 6-9 bulan mengalami pergerakan. Seperti yang disebutkan di atas, ia memiliki sistem nafigasinya. Ia melakukan perubahan posisi tumpuan dan melakukan tendangan. Pergerakan ini dirasakan oleh pregnant women dan diinterpretasikan bahwa terdapat kondisi tidak nyaman yang dialami oleh sang fetus sehingga pregnant women akan melakukan pergerakan hingga fetus tidak lagi melakukan pergerakan dengan interpretasi bahwa fetus sudah dalam keadaan nyaman. Fetus tersebut dapat dikatakan telah memiliki sensai “pegal” sehingga ia melakukan tendangan (meregangkan diri). Jadi tidak hanya sensasi pregnant women yang mempengaruhi sensasi fetus, bahkan sensasi fetus mempengaruhi psikologi pregnant women. Keaktifan fetus pada malam hari (nocturnal) membuat pregnant women mengalami kelelahan dan ketidaknyamanan.

CHILD BIRTH-ABJEKSI-POST PARTUM SYNDROME

Saat pregnancy menjadi child birth, fetus yang akan menjadi calon bayi akan keluar dari ruang satu tubuh pregnant women. Keadan “terlepas” inilah, menurut penelitian, 80% mengalami post partum syndrome atau kita kenal sebagai baby blues. Gejalanya ialah rasa lelah yang menetap, perasaan sedih, bersalah, tidak tertarik pada bayinya, tidak mampu mengurus diri sendiri, perasaan marah yang kuat disertai pikiran untuk melukai diri sendiri atau bayinya. Menurut penelitian hal ini dikarenakan ketidakmampuan ibu setelah melahirkan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, tak ada dukungan sosial, kelahiran prematur, hormonal yang tidak stabil serta kelelahan mengurusi hal ini dan itu dalam urusan rumah tangga.

Ada fenomena yang belum kita sentuh yaitu permasalahan abjeksi. Abjeksi yaitu dimana kita teralienasi dengan apa yang berasal dari diri kita sendiri. Saat pregnant women melahirkan (mengeluarkan) dari posisi aku ialah aku dan bayi itu menjadi aku dan bayi itu. Analoginya ialah saat saya terbiasa membawa ponsel kemana pun saya pergi, kemudian suatu hari saya pergi tanpa membawa ponsel maka saya merasa kehilangan sesuatu. Tanpa ponsel itu saya merasa tidak nyaman akan keberadaan saya. Bayi yang merupakan bagian aku selama 36 minggu menjadi bayi di sana, bukan bersamaku di sini. Keterpisahan ini adalah kehilangan yang menimbulkan depresi. Efek mood swing ini ialah fenomena yang menjadikan affirmasi “two mind in one body” berubah menjadi “each body had one mind”.[1]

Jadi, kondisi keterpisahan ini membuktikan adanya sesuatu yang “hidup” dari dalam diri “saya” kemudian ia menjadi mandiri di luar diri ‘saya’ (pregnant women). Fetus itu adalah diri saya, di mana ia dependen terhadap saya kemudian akan berkembang di luar diri “saya” menjadi seseorang yang independen, memiliki historisnya sendiri, identitasnya sendiri.

MISTERIUM

Adalah hal yang misterius bahwa mengapa kita memiliki rupa mirip ayah atau mirip ibu. Terkadang ada pepatah tua mengatakan “buah itu tidak akan jatuh jauh dari pohonnya” yang berarti seorang anak tidak akan berbeda jauh dari orang tuanya baik itu rupa, karakter, tingkah laku, tutur kata-suara, dan lain-lain. Apakah hal ini hanya didasarkan pada kehidupan sosial atau keterpengaruhan dalam lingkungan atau internalisasi? Namun, bagaimana sebuah gen baru yang melebur menyimpan informasi mengenai perpaduan bentuk wajah dari penyumbang gen? Gen adalah materi atau visible think namun informasi bersifat unvisible. Gambarannya sebagai berikut:


Gambar 1: http://img407.imageshack.us/i/adnstatic.png/

Gambar 2: http://img718.imageshack.us/i/adnstatic2.png/


Menurut Gregor Mendel, tiga unsur pembentuk gen menyimpan informasi dan bersama protein disebut RNA sebagai ekspresi genetik memainkan fungsi penting dalam pembentukan (form-ing). Namun, secara ilmiah, mereka tidak dapat membuktikan bagaimana komponen kimiawi tersebut menyebabkan form. Mendel pun hanya menjelaskan peluang pencampuran dua gen yang berbeda dalam menghasilkan konstelasi gen baru. Ia tidak dapat menjelaskan bagaimana protein dan glukosa menyimpan informasi mengenai form secara unik dan misterius. Jadi, jawaban yang dapat saya tawarkan ialah material-visible (gambar 1) adalah argumen ilmiah dalam menjelaskan cara kerja pembentukan form, information-invisible (gambar 2) dapat terkandung dalam material-visible ialah bersifat intelligible-mind. Hal ini berarti sebuah life energy yang sulit kita buktikan dalam material namun terkandung di dalamnya. Ia adalah gerak (movement). Material with mind as movement.[1]

KESIMPULAN

Pregnancy dan child birth adalah eksperimentasi dalam pembuktian keberadaan relasi mind and body. Yang perlu digarisbawahi ialah cara kerja relasinya bukan secara bilogis pregnancy itu apa atau mengapa depresi secara psikologis dapat terjadi. Contoh ekspreimen itu dapat menjadi pola pikir kita bagaimana hal material (body) dan mind saling berelasi, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan.

“angin itu tidak berbentuk

Ber-nafas pun tidak bisa kita jelaskan bagaimana caranya

Angin hanya ada ketika kita rasakan

Meski tidak terlihat, ia dapat menyentuh

Sehingga dapat kita rasakan

Sama seperti mind, kita dapat merasakannya.”



[1] Perlu digarisbawahi bahwa kata “with” bukan berarti mind adalah sesuatu yang ekstra melainkan “must be” agar material dapat digerakan. Mind-body adalah unitas meski substansinya berbeda.


[1] Kondisi keterpisahan ini terjadi pula pada post-abortion. Psikologis seseorang yang melakukannya akan merasa bersalah, kemudian menjadi depresi.

Eleven Minutes (Sebelas Menit)



Pengarang : Paulo Coelho

Penerbit : Gramedia

Tahun Terbit : 2007

Tebal : 357 hal

‘Pada zaman dahulu kala’ hiduplah seorang gadis di salah satu kota bagian negara Brazil. Ia bernama Maria. Dikisahkan di dalam 357 halaman mengenai kisah hidup cintanya. Meski sangat tabu bagi Maria untuk mengucapkan kata itu karena kata itulah ia kehilangan ‘cinta-cinta’nya. Karena itulah ia terjerumus ke lembah yang gelap namun ia jalani dengan tegar. Ia pun mencoba menuliskan kisahnya, perjalanan hidupnya yaitu apa itu cinta dalam sebuah judul ‘eleven minutes’ (sebelas menit). Mengapa? Karena sebelas menit itulah yang dibutuhkan pria-pria ‘gangguang jiwa’ untuk bersenggama dengan perempuan pelacuran, seperti Maria.

Kisah cinta Maria diawali dengan penyesalannya saat seorang bocah laki-laki yang hendak mendekatinya dengan cara meminjam pensil kepadanya, namun ia tolak. Tak berapa lama, ia menyesalinya ketika mengetahui bahwa pujaan hatinya telah pergi dan sekolah lagi di sekolahnya. Kemudian, ketika ia remaja dan dia dihianati karena Maria tidak membuka mulutnya saat berciuman dengan pacarnya. (sungguh menggelikan) pacarnya pun berpaling kepada salah satu temannya. Dari sinilah ia mulai sakit hati.

Ia mulai meraba bagian sensitif tubuhya dan masturbasi. Ia melayang dengan memainkan bagian itu. Ia menikmatinya. Awalnya ia tidak tahu bila itu tabu, kemudian dimarahi oleh orangtuanya. Namun, ia tetap melakukannya dan sering melakukannya. Beralih kepada pacar lain, ia memutuskan untuk menyerahkan keperawananya pada pacarnya itu di mobil. Dan ia mengancam kepada pasangannya agar tidak memberitahukan hal ini kepada orangtuanya dengan tuduhan perkosaan dan imbalan melakukan hubungan intim lagi. Tetapi, Maria tidak merasakan orgasme saat laki-laki memasuki tubuh perempuan. Ia justru orgasme saat masturbasi. Lalu, apa gunanya laki-laki?

Aku ingin memahami cinta. Aku merasa sangat hidup ketika sedang jatuh cinta, tapi segala yang kumiliki saat ini, betapapun menariknya, tidak bisa sepenuhnya membangkitkan semangatku. Tapi cinta sungguh menakutkan: aku sudah melihat teman-teman perempuanku menderita karena cinta, dan aku tidak ingin hal itu menimpaku. Dulu mereka suka menertawakan aku dan kenaifanku, tapi sekarang mereka ingin tahu, bagimana caranya aku bisa sangat mahir menangani laki-laki. Aku cuma tersenyum dan tidak bilang apa-apa, sebab aku tahu solusinya lebih berat daripada kepedihan yang ditimbulkannya: aku pokoknya tidak mau jatuh cinta. Hari demi hari semakin jelas kulihat betapa rapuhnya laki-laki… beberapa ayah teman-teman perempuanku pernah mendekatiku, tapi aku selalu menolak. Mulanya aku kaget sekali, tetapi sekarang kupikir memang begitulah laki-laki. Meski aku ingin memahami cinta, meski aku menjadi sedih kalau teringat orang-orang yang telah kubiarkan merebut hatiku, kulihat orang-orang yang berhasil menggugah hatiku justru tidak bisa membangkitkan gairahku dan orang-orang yang membangkitkan gairahku justru tak bisa menyentuh hatiku. (hlm. 29-30)

Ia pun menjadi gadis yang cantik dan dipuja-puja laki-laki. Ia bekerja di sebuah toko dan majikannya jatuh cinta padanya. Ia merasa harus melakukan petualangan ke ibu kota Brazil, Rio de Janeiro. Ia sangat mengidamkan berjalan di tepi pantai dengan menggunakan bikini seperti turis lainnya dan dilirik oleh pria tampan dan siapa tahu ia beruntung dan mengajaknya menikah. Ia pun bertemu seorang turis yang mengajaknya untuk bekerja di Switzerland dengan tawaran harga yang tinggi. Ia sulit memilih apakah ia akan pulang ke kota atau akan pergi bersama turis pria itu untuk bekerja dan bertualang ke Eropa. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke negara tersebut dengan syarat kembali terlebih dahulu ke kotanya.

Setibanya di kota Swiss, ia kira akan mendapat gaji besar dan petualangan. Ternyata apa yang ia harapkan tidak menjadi kenyataan. Ia terkurung dengan gadis-gadis dari negara lain, tanpa mengerti bahasa mereka. Maria diharuskan kerja yaitu menari samba di klab malam selama waktu yang dijanjikan oleh pria asing itu. Tak berapa lama, Maria mengikuti les bahasa perancis dan jatuh cinta kepada gurunya yang berasal dari Arab. Hubungannya diketahui oleh bosnya, sehingga Maria pun dipecat dari pekerjaan itu. Ia pun mencari pekerjaan ke biro pencari kerja. Lama ia menunggu panggilan. Akhirnya di hari-hari terakhir penderitaan karena ia hanya punya sedikit uang, ada biro yang memberitahunya bahwa ada perusahaan modeling yang tertarik padanya. Kemudian ia membuat janji dengan orang yang disebutkan dan tempat yang telah dijanjikan. Ia pergi ke tempat itu dan bertemu dengan lelaki Arab. Bukan pekerjaan modeling yang ia dapatkan, namun tawaran ‘menemani minum’ di hotel yang ia dapatkan, dengan imbalan seribu franc. Ia diam dan berpikir. Akhirnya ia setuju karena bila menolak ia akan menjadi gelandangan di negeri asing ini.

Aku sudah tahu, apa sebabnya laki-laki mau membayar untuk ditemani wanita: dia ingin merasa bahagia. Dia tidak akan membayar seribu franc sekedar untuk mengalami orgasme. Dia ingin merasa bahagia. Aku juga demikian, semua orang pun begitu, tapi tak seorang pun merasa bahagia. Apa ruginya kalau untuk sementara aku memutuskan menjadi… susah memikirkan kata ini maupun menulisnya… tapi blak-blakan sajalah… apa ruginya kalau untuk sementara aku memutuskan menjadi pelacur? Kehormatan. Harga diri. Menghormati diri sendiri. Meski kalau dipikir-pikir aku tidak pernah punya ketiganya. Aku tidak minta dilahirkan, tidak pernah ada yang mencintaiku, aku selalu saja mengambil keputusan-keputusan yang salah—jadi sekarang biarlah kehidupan yang memilihkan jalanku.(hlm. 86-87)

Maria berjalan mencari klab malam. Ia mendapatkan suatu jalan bernama Rue de Berne. Semua orang di Swiss mengetahui bahwa jalan itu dan klab-klab itu menyediakan perempuan-perempuan yang dapat di bawa ke hotel. Namun, menjadi tabu untuk dibicarkan di depan umum, cukuplah mereka tahu dan menjadi ‘rahasia’ umum. ‘Copacabana’ itulah nama klab yang ia singgahi. Peraturan pertama: pakaian, kedua: tidak boleh menyerobot pelanggan teman perempuan lain, ketiga: koktail buah, dansa, 350 franc, bila tamu istimewa seribu franc, lalu pergi ke hotel. Paling tidak dalam semalam ia mendapat 2-3 pelanggan. Selama sekitar enam bulan Maria akan bekerja di sana dan mengumpulkan uang untuk menggapai cita-citanya: pulang ke kotanya di Brazil, membeli sebidang ladang, membeli ternak dan sebagai modal usaha. Ia ingin menyenangkan kedua orang tuanya.

Maria suka meminjam buku di perpustakaan. Ia dipandang terpelajar dan cerdas dibandingkan teman-temannya di Copacabana. Ia membaca buku psikologi, buku ekonomi dan lainnya agar ia dapat mengobrol dengan pelanggannya yang berasal dari berbagai bidang. Ia menjadi seorang penyembuh jiwa saat pelanggannya mengalami depresi. Hanya Maria yang melakukan demikian. Ia juga membaca buku tentang pertanian untuk bekal kelak ia kembali ke kotanya. Saat ia sedang senggang, ia pergi sebuah café dekat gereja serta papan nama yang bertuliskan Santiago. Saat ia masuk ke café itu, ia melihat seseorang yang sedang melukis seorang tokoh yang dikatakan oleh pelayan bar adalah orang penting. Tak lama kemudian, pelukis itu menyanjung Maria karena ia memiliki cahaya. Pelukis itu meminta ijin untuk melukis Maria. Akhirnya pelukis itu pun mengatahui siapa Maria sebenarnya. Namanya Ralf Hart. Sekarang ia sering mengunjungi Maria di tempat kerjanya. Ralf Hart adalah tamu istimewa di Copacabana. Ia membayar Maria bukan sekedar ‘menemaninya’ namun ia ingin maria mengajarkannya mengenai hasrat.

Akhirnya Maria jatuh cinta kepadanya. Namun, Maria enggan memberi pernyataan, karena ia tidak ingin memilki Ralf Hart. Maria berkeyakinan saat kita memiliki orang lain makan ia akan memasung kebebasan orang itu. Jadi, lebih baik semuanya mengalir. Selain Ralf Hart, ada tamu istimewa yang berasal dari Inggris. Laki-laki itu mengajarkan mental budak dan mental tuan. Maria menjadi budak dan laki-laki itu menjadi tuan. Maria mendapat pengetahuan mengenai masokis. Ia puas akan pengalamannya mengenai masokis. Namun, Ralf Hart memberinya pengetahuan lain bahwa masokis itu hanya alasan manusia saja untuk mencapai kebahagiaan. Padahal seharusnya manusia memang selayaknya bahagia tanpa alasan pembenaran yaitu kesakitan.

Lagi-lagi seperti di cerita Hollywood yaitu ‘happy ending’ di mana sang pria mengejar pasangannya yang hendak pergi dan berdiri di hadapannya dengan seikat bunga. Lalu hidup bahagia (saat itu, karena cerita berhenti)…

Catatan filosofis dalam novel ini dan baik untuk direnungi:

Φ Membuat kesalahan adalah bagian dari hidup. Bekata ‘ya’ pada kehidupan. (hlm. 42-43)

Φ Kalau anda mesti setia pada seseorang atau sesuatu, pertama-tama anda harus setia pada diri anda sendiri dahulu. Kalau anda hendak mencari cinta sejati, pertama-tama anda harus mengeluarkan cinta-cinta yang biasa-biasa saja dari diri anda. (hlm. 43)

Φ Sedikit pengalaman hidup yang telah kuperoleh (Maria) mengajariku bahwa kita tidak punya apa-apa, semuanya hanya ilusi—baik menyangkut hal-hal yang bersifat materi ataupun spiritual. Siapa pun yang pernah kehilangan sesuatu yang mereka pikir milik mereka pada akhirnya menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang benar-benar milik mereka. Dan kalau aku tidak memiliki apa pun, berarti buat apa membuang-buang waktu mengurusi hal-hal yang bukan milikku; lebih baik aku bersikap seolah-olah baru hari ini aku hidup (atau hari terakhirku hidup). (hlm. 43)

Φ Anda bisa memilih: menjadi korban dunia ini atau menjadi petualang yang mencari harta karun. Tinggal bagaimana anda memandang hidup anda. (hlm. 58)

Φ Pernah ada pengarang yang mengatakan bukan waktu yang mengubah manusia, bukan pula pengetahuan; satu-satunya yang bisa mengubah pikiran manusia adalah cinta. Omong- kosong! Orang yang menulis itu sudah jelas hanya melihat dari satu sisi saja. Memang benar, cinta merupakan salah satu hal yang bisa mengubah keseluruhan hidup seseorang, dari satu saat ke saat berikutnya. Tapi ada pula unsur lain, unsur kedua yang bisa membuat manusia mengambil jalur yang sama sekali berbeda dari jalur yang telah dia rencanakan sebelumnya; dan unsur kedua itu adalah keputusasaan. Ya, barangkali cinta memang benar bisa mengubah manusia, tapi keputusasaan bisa lebih cepat lagi mengubah orang. (hlm. 75-76)

Φ Memang seperti itulah dunia ini: orang-orang bicara seolah-olah mereka tahu segala-galanya, tapi kalau kita berani bertanya, ternyata mereka sebenarnya tidak tahu juga. (hlm. 81)

Φ Dalam cinta, tak seorang pun bisa menyakiti orang lain; kita masing-masing bertanggung jawab atas perasaan kita sendiri, dan tidak bisa menyalahkan orang lain atas apa yang kita rasakan. Sakit rasanya sewaktu ak kehilangan pria-pria yang membutku jatuh cinta. Tapi sekarang aku yakin tak ada yang namanya kehilangan itu, sebab orang tidak memiliki orang lainnya. Itulah pengalaman kebebasan yang sesungguhnya: mempunyai hal yang paling penting di dunia, tanpa memilikinya. (hlm. 121)

Φ Nafsu membuat orang sulit makan, tidur, malas bekerja, dan kehilangan rasa damai. Banyak orang takut padanya, karena setiap kali nafsu itu muncul, dia akan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Tak seorang pun ingin hidupnya menjadi kacau. Itulah sebabnya banyak orang mati-matian mengekang ancaman nafsu itu, dan berhasil menjaga tegaknya sebuah bangunan yang sesungguhnya keropos dan lapuk. Mereka menjelma menjadi insinyur yang merekayasa kehidupan. Tetapi ada orang yang berpandangan lain: tanpa berpikir panjang mereka menyerah dan takluk pada kekuasaan nafsu, seraya berharap akan menemukan solusi bagi seluruh masalah kehidupan mereka. Mereka bergantung pada orang lain demi kebahagiaan hatinya, dan tak segan-segan menyalahkan orang lain manakala hatinya gundah. Jiwa mereka melambung ke awang-awang jika mendapatkan kesukaan, namun dengan mudah akan berputus asa jika harapannya tak terpuaskan. Mana sikap yang lebih berbahaya—menjauhi nafsu atau meleburkan diri ke dalamnya? (hlm. 159)

Φ Semua orang pasti tahu cara mencintai, karena rahmat itu menyertai kita sejak lahir ke dunia. Banyak orang yang punya bakat alami untuk mencintai, namun sebagian besar dari kita terpaksa harus belajar kembali dan mengingat-ingat cara mencinta, dan semua orang tanpa kecuali, harus kembali menyalakan api emosi mereka yang lama pupus, agar dapat kembali merasakan kebahagiaan dan kepedihan tertentu, menghayati pasang-surut kehidupan, hingga mereka mampu menemukan benang merah yang membentang di balik setiap perjumpaan dua hati, karena benang merah itu sesungguhnya ada. Dan kalau sudah begitu, barulah segenap raga kita akan mengungkapkan bahasa jiwa yang kita kenal dengan sebutan seks. (hlm. 183)

Φ Orang tak mungkin eksis tanpa kehadiran orang lain; orang tak mungkin tahu cara menghina dan merendahkan orang lain kalau dia sendiri belum pernah mengalami dinista dan direndahkan. (hlm. 194)

Φ Marquis de Sade mengatakan, pengalaman manusia yang terpenting adalah yang membawanya ke batas kekuatan daya tahannya; hanya dengan cara itu kita bisa belajar, karena pengalaman seperti itu akan menguras tandas seluruh nyali kita. Majikan yang menghina buruhnya atau lelaki yang merendahkan istrinya adalah manusia pengecut atau sekadar melampiaskan kesumatannya terhadap kehidupan; mereka itulah orang-orang yang tak pernah berani menengok ke dalam dasar palung jiwa mereka, tak pernah berusaha memahami asal-usul nafsu untuk melepaskan makhluk buas yang bercokol di dalam hati mereka, atau mencoba mengerti bahwa seks, kepedihan, dan cinta merupakan serangkaian pengalaman yang ekstrem. Hanya orang-orang yang pernah menjamah wilayah itu bisa memahami kehidupan; sedangkan segala urusan lainnya hanyalah rutinitas untuk membunuh waktu, menjalani tugas-tugas yang sama dan monoton, tumbuh dewasa, menjadi tua, lalu mati tanpa pernah sungguh-sungguh memahami apa yang kita perbuat di dunia ini. (hlm. 195-196)

Φ Menurut Plato, pada awal penciptaan dahulu, lelaki dan perempuan tidak seperti yang kita lihat sekarang ini; ketika itu hanya ada satu jenis manusia yang tubuhnya agak pendek, dengan batang tubuh dan leher, namun kepalanya memiliki dua wajah yang memandang ke dua arah berbeda. Bentuknya mirip dua makhluk yang punggungnya saling direkatkan—keduanya memiliki alat kelamin sendiri-sendiri, punya empat kaki dan empat lengan. Tetapi dewa Yunani menjadi cemburu karena makhluk tersebut punya empat lengan yang memungkinkan mereka bekerja lebih keras, dan punya dua wajah yang membuat mereka selalu waspada dan tak mungkin lengah; dan keempat kakinya memungkinkan dia berdiri atau menempuh perjalanan panjang tanpa merasa lelah. Dan yang lebih membahayakan adalah fakta bahwa makhluk itu memiliki dua organ kelamin, sehingga dia tak memerlukan pasangan untuk bereproduksi. Zeus, dewa penguasa Olympus, berkata: “Aku punya rencana untuk membuat makhluk manusia itu kehilangan sebagian kekuatan mereka.” Dan dengan cambukan kilat, dipotongnya makhluk itu menjadi dua bagian, maka terciptalah lelaki dan perempuan. Pemisahan mereka telah meningkatkan penghuni dunia, namun pada saat yang sama juga menyebabkan manusia kacau dan lemah, karena mereka harus mencari separuh dirinya yang hilang, dan memeluknya lagi—dan setiap kali mereka memeluk separuh bagiannya yang hilang itu, kekuatan mereka kan pulih lagi, begitu pula kemampuan mereka untuk mencegah terjadinya penghianatan serta menjaga stamina untuk menempuh perjalanan panjang dan menjalani kerja keras. Perbuatan manusia yang saling memeluk dan menyatu kembali itulah yang kita sebut seks atau persetubuhan.(hlm. 206-207)

Φ Setiap manusia punya nafsu keinginan tersendiri; nafsu adalah bagian diri yang paling berharga dan, meski sebagai emosi, nafsu bisa membuat orang menjauh, namun nafsu juga bisa membuat orang-orang yang kita cintai serasa lebih dekat. Nafsu itulah emosi pilihan sukmaku; nafsu yang kuat menggelora dan menghanyutkan segala benda dan orang lain di sekitarnya. Dalam keseharianku aku lebih suka hidup di dalam realita. Aku ingin bersikap praktis, efesien, dan profesional. Namun aku ingin selalu berteman dengan nafsu. Bukan karena sebuah kewajiban atau pelarian untuk menepis kesunyian hatiku, namun karena nafsu memang indah. Sangat indah.

Φ Wajar saja orang merasa cemburu, meskipun kehidupan yang dijalaninya membuktikan bahwa rasa cemburu adalah emosi yang sia-sia, mengingat dia bisa saja mencari dan menguasai lelaki lainnya—orang yang sudi dikuasai cemburu sesungguhnya telah membodohi dirinya sendiri. Meskipun begitu, dia sungguh tak kuasa menahan rasa itu, dan tak henti-henti memikirkannya, meskipun itu hanya membuktikan kerapuhan dirinya. Cinta yang perkasa adalah cinta yang bisa menunjukkan sisi lemahnya. Tapi bila cintaku nyata (bukan semata-mata caraku membodohi diri sendiri, lari dari realitasku, atau sekedar mengisi waktu luang di tengah-tengah kota yang menjenuhkan ini), maka kebebasan jiwa akan mengalahkan kecemburuan dan mengobati luka hati yang ditorehkannya, karena kepedihan hati merupakan bagian dari sebuah proses yang alami. Semua orang yang suka berolahraga pasti mengerti: jika kau ingin mencapai tujuanmu, kau harus siap menjalani rasa sakit dan kesusahan. Pada awalnya pengalaman seperti itu membuatmu merasa tak nyaman dan patah semangat, namun pda saatnya nanti kalian akan tahu bahwa pedih perih itu adalah bagian dari proses untuk mencapai rasa nyaman, bahkan kelak kalian akan tiba di satu titik di mana, tanpa rasa sakit itu, kalian merasa latihan kalian belum maksimal.(hlm. 225)

Φ Selama tiga ribu tahun banyak seniman membuat karya pahat dan lukisan, juga menulis buku. Begitu juga selama itu para pelacur terus menjalani pekerjaannya seakan-akan nasib tidak mungkin berubah. Sepak terjang pelacur dalam peradaban disebut secara terang-terangan di dalam berbagai naskah klasik, pada aksara hieroglif di Mesir, pada tulisan-tulisan kuno dari peradaban Sumeria, juga di Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. tapi profesi itu baru diorganisir pada abad keenam SM, ketika seorang senator Yunani bernama Solon berinisiatif mendirikan rumah bordil yang dikelola oleh Negara, dan mulai menarik pajak dari transaksi haram itu. Di pihak lain ,peringkat para pelacur ditetapkan menurut besar-kecilnya pajak yang mereka bayar kepada Negara. Pelacur kelas paling bawah disebut pornai—mereka adalah kepunyaan pemilik bordil. Peringkat yang lebih tinggi diduduki peripatetica, penjaja cinta yang bebas memikat lelaki di jalanan. Terakhir, dan tentu yang paling mahal, adalah hetaera atau perempuan yang menemani perjalanan para pedagang atau pengusaha, makan di restoran mahal, bebas mengatur keuangannya sendiri, banyak memberikan saran dan ikut andil dalam perpolitikan di kota tempat mereka tinggal.

Sejarawan Yunani, Herodotus, pernah menulis sejarah negeri Babilonia: “Bangsa itu punya tradisi yang aneh, yang mengharuskan semua perempuan kelahiran Sumeria untuk—paling tidak sekali dalam kehidupan mereka—pergi ke kuil Dewi Ishtar dan menyerahkan tubuhnya ke pelukan orang asing, sebagai lambang keramah-tamahan, dan mereka juga diupah secara simbolis.” Pengaruh Dewi Ishtar di kawasan Timur Tengah sampai mencapai Sardinia, Sisilia, bahkan beberapa bandar di Laut Tengah. Kemudian, semasa kekaisaran Romawi, muncul dewi lain, Vesta, yang meminta persembahan berupa keperawanan atau pengorbanan total. Demi menjaga nyala api suci di kuilnya, semua perempuan pelayan kuilnya diharuskan mengajari para pemuda dan raja-raja untuk mencapai kematangan seksual—mereka akan melatunkan tembang-tembang erotis, membiarkan dirinya kesurupan dan menebarkan kegembiraan mereka ke seluruh jagat raya dalam bentuk penyatuan diri dengan para dewa-dewi.

Φ Dosa yang hakiki bukanlah buah apel yang dimakan oleh Hawa, melainkan keyakinan bahwa Adam juga perlu ikut merasakan sesuatu yang dia nikmati. Hawa takut menempuh jalan kehidupannya tanpa seseorang mendampinginya, dan oleh karenanya dia ingin berbagi rasa dengan lelaki itu. Pada kenyataannya banyak hal yang tak mungkin dibagi. Kita juga tak pelu takut pada samudra tempat kita meleburkan kebebasan jiwa kita; rasa takut akan membuat orang jeri untuk berenang. Manusia terjun ke dalam api neraka agar dapat memahami semua itu. Cintailah orang lain, tapi jangan coba-coba saling menguasai.

Kelebihan novel ini ialah pencarian identitas cinta. Serta diwarnai oleh pemikiran-pemikiran filsosofis meski tidak disebutkan pemikir aslinya, misalnya terdapat pemikiran Nietzche mengenai semangat amor-fati (‘ya’ pada kehidupan). Novel ini dapat menjadi pencerahan terhadap kebimbangan diri akan sikap kita terhadap pilihan, lalu apa itu cinta meski kita sudah mengetahuinya dan mengalami amnesia.

Kekurangan novel ini ialah terlalu vulgar dalam tema seksualitas.