Truth-Berdasar Pembacaan Terhadap Buku Simon Blackburn

Pikiran kita memiliki kemampuan kategorisasi yang memungkinkannya memisahkan satu jenis tertentu dengan jenis tertentu lainnya. Potensi ini kemudian dapat melakukan struktur pengetahuan sehingga ia mampu membedakan pengetahuan mana yang benar ataupun sebaliknya yaitu salah. Kemampuan dikotomistik mind berproses--dalam kritisistiknya—membedakan mana yang benar dan mana yang illusif atau great evil. Pertanyaan besarnya ialah faktor penentu apakah yang membuat pengetahuan itu benar atau salah? Apakah perspektif atau paradigma subjek? Sensus komunis? Atau kekuasaan yang membuatnya benar? Bila demikian, pengetahuan tersebut telah melakukan justifikasi terhadap pengetahuan lain. Apakah dengan demikian pengetahuan lain itu salah?

Pertanyaan mendasar ialah apa yang menjadikan pengetahuan itu benar? Realisme akan menjawab bahwa fakta yang terukur itu pasti benar. Namun, realisme terlalu mengambil cepat kesimpulan, bagaimana dengan fakta yang tidak terukur misalnya permasalahan qualia? Bila jatuh pada pemasalahan qualia, jangan-jangan kebenaran itu ialah belief pada mind kita masing-masing! Ingat pada Locke, kualitas primer tidak akan kita capai karena sifatnya noumena sehingga kita hanya dapat menangkap kualitas sekundernya saja. bila kita tanda pada Davidson, content itu sama namun sistemnya saja yang berbeda, jadi ini adalah usaha kita dalam interpretasi. Permasalahnnya ialah Davidson tidak bertendensi pada content itu sebagai truth melainkan interpretasi yang membuatnya truth. Sedangkan prinsip pengetahuan menurut Blackburn ialah new discovering, pembaharuan, tested, dan sisi pragmatis. Apakah dengan demikian permasalahan truth itu sudah terjawab? Letaknya dimana?

Truth—sesuatu itu benar apabila: 1. Sudut pandang subjek membuatnya menjadi truth(ingat bahwa sudut padang orang terhadap permasalahan itu beragam di dalam beragam pula permasalahan). Ini berimplikasi pada no single truth; 2. Belief of society sebagai determinasi untuk menghilangkan rasa cemas dalam diri manusia. Ini berimplikasi pada ketidakotentikan subjek dan manipulasi terhadapnya; 3. Keotentikan subjek melahirkan fiksi yang diciptakan sendiri olehnya. Implikasinya ialah truth itu dikonstruksi. 4. Truth itu ada tapi kita tidak dapat dicapai karena batas kemampuan manusia. Implikasinya ialah truth itu selalu terpisah dari subjek.

4 poin truth di atas menunjukkan ada dua sifat yang melekat pada truth yaitu alamiah dan konstruktif. Alamiah itu tidak bisa dicapai dan konstruktif bersifat evolutif. Jadi, pegangan yang palinga memungkinkan ialah truth sebagai konstruktif yang bersifat evolutif. Lacking of truth dalam proses evolutif dapat dianggap sebagai ketertundaan sekaligus pengungkapan terhadap keluasan pengetahuan mengenai lacking of truth. Jadi truth dapat diletakan pada becoming comprehensive our knowledge.

Becoming comprehensive ialah kondisi terus menerus terisinya kekosongan dalam situasi dialektika. Namun, comprehensive ini sendiri sebenarnya tidak akan bisa tercapai apabila masih ada situasi force di dalamnya sehingga dalam usahanya selalu becoming. Hal yang ingin ditekankan di sini yaitu penyingkapan-penyingkapan ada yang berkelanjutan. Truth itu sejauh bagaimana pikiran kita dapat terbuka pada pemahaman baru, menyesuaikan diri di terhadapnya, melakukan kitik dan analisa tajam, menentukan posisi, mempertahankannya, dan membuka diri kepada pemahaman baru selanjutnya bila posisi kita tidak bisa dipertahankan lagi.

Langkah selanjutnya ialah apabila pegangan yang paling memungkinkan adalah truth of constructed maka apakah dapat memahami the other mind? Bila Davidson dan Blackburn melakukan usaha interpretasi dan pemahaman untuk mengetahui the others, sejauh mana kita memahaminya? Apakah dengan demikian kita mengaffirmasi kebenaran mereka? Pengakuan terhadap perbedaan harus terlebih dahulu ada karena yang organizing itu ditunda dan mengalami keterbukaan terhadap yang organized. Affirmasi kebenaran the other muncul dari pengakuan terhadap perbedaan tersebut, namun sebatas etika sosial dominan melingkupinya. Apakah ini tidak mereduksi dan justru menegasikan kebenaran secara partikular? Inilah akibat tatanan pikiran manusia yang one vs. the many. The greatest happiness for the greatest number. The other akhirnya tetap melekat pada dirinya penuh secara independent.

Solipsisme dan Absurditas

Apakah sebuah kata dapat sampai pada kepenuhan makna hanya dengan pendefinisian? Padahal secara faktual sebuah kata mengalami perubahan makna. Ini merupakan permasalahan bahasa apabila pertanyaan pertama ialah “apabila solipsisme berarti hanya diri kita yang mengetahui maka untuk apa kita menuliskan definisi tersebut?” Saya memiliki kecurigaan bahwa solipsisme tidak berhenti pada hilangnya komunikasi. Kedua, “apabila solipsisme berarti hanya diri kita yang mengetahui kemudian saya menuliskannya untuk diri saya sendiri maka bukankah kita akan terjatuh pada kondisi absurditas?” Ada perlunya kita kembali memeriksa kata solipsisme. Apakah pengertian solipsisme dapat dipertahankan? Apakah ada keterkaitan antara solipsisme dengan absurditas?

Permasalahan pertama ialah permasalahan definisi. Di dalam tugas pertama, saya mengambil definisi solipsisme dari kamus filsafat karangan Loren Bagus. Saya ialah eksistensi yang independen mengakibatkan suatu penegasian secara alamiah terhadap keberadaan orang lain. Eksistensi orang lain ialah dependen terhadap saya. Kesadaran saya sajalah yang membentuk adanya keberadaan orang lain. Apakah lantas solipsisme tidak dapat dikomunikasikan? Saya mengindikasikan adanya penyakit dalam penggunaan kata solipsisme, pertama solipsisme ini ialah sebuah penyakit yang kita ketahui dan tidak menyerang kita. Kondisi ini ialah ada pasien yang sedang menderita penyakit X yang kemudian kita namakan solipsisme. Penyakit solipsisme ini dapat kita komunikasikan rekan sejawat agar berhati-hati terhadap penyakit ini. Kedua solipsisme ini ialah penyakit yang sedang menyerang kita. Saya mengalami penyakit X yang tidak saya ketahui namun dapat menghasilkan epistemologis kemudian saya dapat mengkomunikasikan gagasan epistemologis ini kepada orang lain dalam bentuk variabel Y. Faktanya, solipsisme menghasilkan variabel Y yang dapat dikomunikasikan dan memajukan peradaban modern. Contohnya Descartes yang diindikasikan berpenyakit solipsisme menyebabkan kemandirian berpikir. Ketiga, solipsisme ialah sebuah kesalahan definitif dan kini tidak lagi mungkin diterangkan secara utuh. Kondisi gagalnya pendefinisian sebagai proses identifikasi terhadap penyakit karena implikasinya berjalan sebaliknya. Akibatnya ialah solipsisme tidak mengimplikasikan ketiadaan komunikasi atau ini bukan solipsisme.

Sebenarnya definisi solipsisme dapat dibantahkan karena Descartes mengimani adanya substansi langsung dari Tuhan sehinga Cogito itu ada. Landasannya ialah apabila solipsisme itu yang ada ialah diri sendiri, mengapa Descartes masih bergantung pada substansi Tuhan? Saya menangkap dari definisi Loren Bagus bahwa solipsisme sama dengan mengangkat diri kita menjadi Tuhan karena “saya adalah totalitas eksistensi” yang mengadakan keberadaan realitas. Pertanyaan selanjutnya ialah siapa yang telah menindikasikan Descartes sebagai solipsisme?

Permasalahan kedua ialah bagaimana kita dengan tepat menjelaskan hubungan antara solipsisme dan absurditas. Solipsisme telah dijelaskan di paragraf sebelumnya bahwa terurai menjadi berbagai kondisi dan dapat dikomunikasikan. Komunikasi mensyaratkan kehadiran makna. Berbeda dengan absurditas yang mengalami ketiadaan makna. Kondisi ketiadaan makna ialah kita tidak tahu apa yang kita perbuat dan untuk apa. Albert Camus menggambarkan seorang manusia yang terjebak dalam rutinitas keseharian. Apabila anda pernah menonton film “Veronica decide to die” maka dapat terlihat betapa hidup sudah tak berarti bagi diri saya dan satu-satunya jalan ialah bunuh diri. Apabila manusia hidup untuk mati mengapa saya tidak boleh memutuskan mati sekarang juga? Toh nantinya saya akan mati juga.

Solipsisme dapat menjadi absurd apabila tidak dapat dikomunikasikan sehingga ia tidak memiliki arti apapun karena yang ada ialah dirinya sendiri. Bila Descartes tidak mengkomunikasikan epistemologi dalam The Meditation maka ia mengidap penyakit solipsisme. Sebaliknya bahwa ia mengkomunikasikannya dengan cara menulisnya dan mempublikasikannya berarti dia tidak mengidap penyakit tersebut. Saat saya menulis ide pikiran saya ada kemungkinan saya mengidap solipsisme bahwa saya mengutarakan ide dari diri saya sendiri untuk diri saya juga. Tetapi kata-kata dimaksudkan bukan untuk kata-kata itu sendiri melainkan untuk dikomunikasikan maka solipsisme tidak menjadikan dirinya absurd.

Solipsisme pun dapat menjadi absurd ketika Descartes mengunggulkan reason sehingga meniadakan dimensi kesadaran moral. Ia menghadirkan subjek yang Cogito sebagai penghasil utama epistemologi menyebabkan kesamaan terhadap seluruh manusia tanpa memandang identitas. Levinas menyebutnya penyakit the sameness. Penyakit ini mengandung absurditas karena meniadakan the I dan the Other. Camus menyebutnya sebagai ketidakpedulian terhadap permasalahan sekitar. Solipsisme akan berguna sejauh bagaimana cara berpikir kita menghasilkan pengetahuan misalnya apa yang terjadi pada Immanuel Kant. Namun, solipsisme dapat menjadi absurd bila ia menghilangkan kesadaran moral manusia atau meniadakan kritisisme dalam berpikir.

Pemikiran Eksistensi Heidegger & Posisinya Terhadap Alam

Manusia dan Alam

Heidegger membedakan antara manusia dengan bukan manusia (the human and the nonhuman). Perbedaan ini mengangkat term eksistensi yang terekspresikan hanya untuk manusia saja. Hal ini dapat kita analisis dengan membaca statement Heidegger yaitu:

Heidegger writes: “The being that exist s man. Man alone exixts. Rocks are, but they do not exist. Trees are, but they do not exist. Horses are, but they do not exist. Angles are, but they do not exist. God is, but he does not exist.”

(Heidegger menulis: “being yang eksis ialah manusia. Hanya manusia yang eksis. Batu ada tetapi ia tidak eksis. Pohon ada tetapi tidak eksis. Kuda ada, tetapi mereka tidak eksis. Malaikat ada, tetapi mereka tidak eksis. Tuhan ada, tetapi ia tidak eksis.”)

Mengapa hanya manusia sajalah yang dibilang eksis oleh Heidegger? Yaitu karena kesadaran yang menjadikannya berbeda secara radikal dengan being yang lain. Jadi, kealamiahan eksistensi manusia ialah masuk akal mengapa manusia dapat menghadirkan being dan mengapa ia dapat menyadarinya.

Heidegger menyebut manusia yang eksis ialah Dasein, secara literal berarti ia berada di sana (“being-there”). Manusia ialah being yang ada di dunia dan ia harus keluar tinggal di kehidupannya dan melalui hubungan yang tidak terpisahkan terhadap dunia. Kemudian, Heidegger membedakan anatara manusia “being-in-the-world” dengan “being-in-the-midst-of-the-world”. “being-in-the-world” ialah manusia yang bereksistensi, sedangkan “being-in-the-midst-of-the-world” ialah manusia yang mengalami penurunan level pada objek material. Untuk menyatakan “being-in-the-midst-of-the-world”, Heidegger menamakannya sebagai ketenggelaman (fallenness-Verfallenheit). Ketenggelaman ini dikarenakan dunia yang bertransformasi oleh teknologi manusia. Heidegger menyebut dunia ini sebagai dunia publik. Dunia ini dihuni oleh das Man, ialah manusia sebagai instrumen untuk dimanipulasi dan berguna kepada publik. Contohnya ialah buruh di sebuah pabrik. Ia tidak lain adalah sebuah mesin yang tenggelam dalam kerutinitasannya sehingga ia lupa akan ontologi being yang mengakar dalam dia. Ia tidak paham apa yang ia kerjakan, tidak punya perasaan yang mendalam, hanya ketakutan yang picik, dan kecemasan neurosis. Sehingga, menurut Heidegger ia tidak percaya akan manusia yang menemukan arti dan kebenaran. Manusia sekarang hanya mencari kebenaran yang bersifat praktis.

Manusia, Teknologi dan Alam

Mengada

Istilah

Cara Mengada

Sikap Dasein

(Seinend)

Sehari-hari

(Seinart)

Sehari-hari

Zuhandenes

Alat-alat

Untuk sesuatu

Mengurus atau

(Um-Zu)

Menangani

(Besorgen)

Vorhandenes

Benda-benda

Tersedia begitu

Tanpa minat

yang bukan

saja

menangani

alat-alat

Mitdasein

Sesama manusia

Ada-bersama

Merawat atau

atau orang-orang

Mitsein

memelihara

lain

(Fürsorge)

Tebel[1]

Kita dapat memahami tabel diatas bahwa terdapat hierarki nilai antara das Sein, Zuhandenes, Vorhandenes danMitdasein. Vorhandenes ada begitu saja, merupakan bahan untuk manusia yang diolah dengan Zuhandenes.

Alam ialah apa-apa yang tersedia begitu saja di sekitar manusia. Alam dan manusia ialah faktisitas yaitu bersifat niscahya, kesadaran terlempar. Manusia cenderung mempertahankan hidupnya. Dalam usaha untuk mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan sesuatu. Sesuatu itu ialah alat yang diciptakan manusia dengan tujuan tertentu. Penciptaan terjadi, selain karena diharuskan oleh kondisi objektif manusia, tentunya juga karena alam memungkinkannya. Manusia memanipulasi alam dalam rangka mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan sesuatu, dan dalam rangka pemenuhan atas kebutuhan tersebut manusia menciptakan sesuatu.[2]

Konsep Heidegger dalam eksistensi manusia melalaikan alam sebagai bagian dari being in the world. Alam hanya bahan semata-mata untuk teknologi:

Starting from nature, there is no way of conceiveing the mode of being of the world and worldness; indeed, nature must be interpreted the other way round, starting from the existential structure of being in the world. Nature as such is indeed absent from Heidegger’s sketch of a ‘natural conception of the world.

Karl Löwith is, however, quite right to suppose that nature is not just the readiness in Being and Time, but indeed not addresses in its own right at all: ‘In Being and Time nature in its naturalness is ignored and, in contrast to the readiness to hand of equipment and to historical exixtence of human determinate exsistence, relegated to the most subordinated concept of the merely “present at hand”.”[1]



[1] Joanna Hodge, Heidegger and Ethics (New York: Rotledge, 1995), page 138.



[1] Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Mnuju Sein und Zeit (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Pusat Penelitian STF. Driyakara, 2003), hal. 60.

[2] Rizky Muhammad, Netralitas Teknolgi sebagai Konsekuensi atas Radikalisasi Pemikiran Heidegger tentang Teknologi (Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok2005), hal. 1

Two Mind in One Body

PENGANTAR

Perdebatan di dalam argumentasi Philosophy of mind mengenai mind and body selalu dilandasi oleh karakteristik dikotomistik. Namun, landasan tulisan ini, peneliti menggunakan pola argumentasi eksperimental atas pembuktian relasi antara mind and body; unvisible and visible. Landasan ini berdasarkan argumentasi yang telah diberikan sebelumnya yaitu di dalam ujian akhir semester bahwa dengan adanya studi mengenai mind akan semakin memperkuat affirmasi terhadapnya sehingga dikotomistik itu tidak ada melainkan relasi diantara keduanya.

Eksperimen yang akan dilakukan yaitu meneliti proses kehamilan (pregnancy) dan setelah melahirkan (after birth). Latar belakang diambilnya tema ini yaitu kondisi misterius (mind & body; kesadaran; psikologi) dalam tubuh perempuan yang memiliki pre-human di dalam ruang tubuhnya. Misterius dikarenakan di dalam satu tubuh mengandung dua jiwa. Kedua, efek psikologis yang ditimbulkan akibat hubungan 2 mind and 1 body. Metode yang dipakai yaitu fenomenologi, psikologi.

Permasalahan yang akan dibahas di dalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana coexistence mind and body dari eksperimen pregnancy?

2. Bagaimana coexistence mind and body dari eksperimen child birth?

3. Bagaimana menjelaskan genetik sebagai material-visible mengandung information-invisible?

PREGNANCY

Secara biologis kondisi pregnancy dijelaskan melalui pertemuan dua sel. Kemudian peleburan sel ini melakukan pembelahan diri hingga masa ±36 minggu hingga membentuk calon manusia sempurna. Pembelahan diri memungkinkan apabila berada pada cadangan makanan yang memungkinanya bertahan. Plasenta pregnant women menjadi tumpuan kehidupan fetus. Plasenta sebagai jalur nutrisi yang dialirkan dari makanan pregnant women.

Demikianlah kondisi singkat secara biologis saat masa pregnancy. Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana kondisi mood dan emosional pregnant women sebagai individu terpengaruh atas eksistensi fetus? Dan bagaimana kondisi fetus terpengaruh atas kondisi pregnant women? Bagaimana di dalam satu tubuh dapat dipengaruhi oleh sebuah sel secara psikologis berlainan?

Menurut studi psikologi, kondisi mood dan emosional saat pregnancy dipengaruhi oleh hormonal dalam tubuh dari menstrual menjadi dismenstrual sehingga kondisi stabil menjadi labil. Kedua ialah kondisi ekonomi keluarga. Dan ketiga ialah situasi lingkungan budaya dalam menanggapi pregnancy tersebut. Reaksi emosional setiap pregnant women ialah berbeda. Ada pregnancy yang membawa dampak depresi, cemas, dan ada pula kegembiraan menyambut kehidupan baru. Depresi dan kecemasan berasal dari ketakutan akan child birth yang nantinya akan menyakitkan. Ada pula faktor emosional yang begitu saja tidak menentu dan selalu berubah. Selain itu ketakutan pregnant women untuk menjadi gemuk sehingga ia merasa depresi atas kondisi kehamilan.

Demikian kondisi singkat secara psikologis. Terlepas dari 3 keterpengaruhan menurut psikologi, pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana kita dapat menjawab kondisi emosional pregnant women terhadap keberadaan fetus tersebut karena mereka berada dalam 1 tubuh? Bagaimana studi mengenai relasi keterpengaruhan antara pregnant women dengan fetus? Apakah semata-mata hanya genetik atau ada faktor lain?

Posisi pengamat

Kondisi biologis merupakan tahap logis mengenai bagaimana fetus dapat terbentuk. Psikologi menjelaskan bagaimana kondisi emosional pregnant women menjadi labil. Namun, apakah mereka dapat menjawab pertanyaan di bagian akhir paragraf? Mereka memang dapat menjelaskan secara ilmiah mengenai gen dan hormonal, namun apakah mereka dapat menjelaskan fenomena relasi antara satu gen pendahulu dengan gen baru. Gen baru merupakan peleburan antara dua gen pendahulu sehingga gen ini memiliki kandungan peleburan diantara keduanya.

Dalam menerangkan permasalahan ini, terdapat studi mengenai relasi antara pregnant women dengan fetus dari analisa kesehatan dan spiritualitas. Deepak Chopra adalah seorang pakar medis dalam perawatan kesehatan holistik. Ia meneliti tentang pregnancy dan child birth. Menurutnya fetus dalam memasuki triwulan kedua telah memiliki peralatan mendengar secara sempurna. Studi modern memastikan bahwa sejak berusia 18 minggu hingga 20 minggu, bayi yang belum lahir mendengar dan merespons suara-suara di dalam lingkungannya. Ritme dan suara manusia dapat didengar dan suara dari pregnant women-lah yang paling mudah dikenali. Ia pun dapat mengetahui apakah sensasi itu menyenangkan tau tidak menyenangkan. Kondisi emosional pregnant women dikomunikasikan kepada janin melalui molekul-molekul kimiawi yang dikeluarkan olehnya. Hal ini telah dibuktikan oleh para ahli biologi saraf dengan penelitian pemetaan otak dan pemindaian dengan metode PET (positron-emission tomography) bahwa setiap persepsi indrawi dan reaksi emosional yang terkait dengannya mengubah unsur-unsur kelistrikan dan kimia di tubuh kita.

Selain pendengaran, sistem somestetik yang meneruskan informasi yang terkait dengan sentuhan, suhu, dan perasaan sakit telah terbentuk dengan sempurna saat fetus berusia lima belas minggu. Ia dapat menyentuh wajahnya, dan menghisap jari-jarinya. Ia pun dapat merasakan perubahan suhu dan perasaan sakit. Fetus mengubah posisinya ketika sang pregnant women mengubah posisinya. Ia memiliki peralatan navigasi untuk mempertahankan diri.

Dari analisa di atas maka kesimpulannya ialah fetus dapat merasakan sensasi-sensasi indawi dan psikologis dari pregnant women. Namun, apakah fetus tersebut telah memilki mind sehingga ada umpan balik kepada pregnant women? Bagaimana pregnant women dapat merasakan kondisi psikis fetusnya? Apakah hal ini dimungkinkan? Bila dimungkinkan maka akan menjadi affirmasi atas two mind in one body.

Secara fenomenologi, fetus yang berusia 6-9 bulan mengalami pergerakan. Seperti yang disebutkan di atas, ia memiliki sistem nafigasinya. Ia melakukan perubahan posisi tumpuan dan melakukan tendangan. Pergerakan ini dirasakan oleh pregnant women dan diinterpretasikan bahwa terdapat kondisi tidak nyaman yang dialami oleh sang fetus sehingga pregnant women akan melakukan pergerakan hingga fetus tidak lagi melakukan pergerakan dengan interpretasi bahwa fetus sudah dalam keadaan nyaman. Fetus tersebut dapat dikatakan telah memiliki sensai “pegal” sehingga ia melakukan tendangan (meregangkan diri). Jadi tidak hanya sensasi pregnant women yang mempengaruhi sensasi fetus, bahkan sensasi fetus mempengaruhi psikologi pregnant women. Keaktifan fetus pada malam hari (nocturnal) membuat pregnant women mengalami kelelahan dan ketidaknyamanan.

CHILD BIRTH-ABJEKSI-POST PARTUM SYNDROME

Saat pregnancy menjadi child birth, fetus yang akan menjadi calon bayi akan keluar dari ruang satu tubuh pregnant women. Keadan “terlepas” inilah, menurut penelitian, 80% mengalami post partum syndrome atau kita kenal sebagai baby blues. Gejalanya ialah rasa lelah yang menetap, perasaan sedih, bersalah, tidak tertarik pada bayinya, tidak mampu mengurus diri sendiri, perasaan marah yang kuat disertai pikiran untuk melukai diri sendiri atau bayinya. Menurut penelitian hal ini dikarenakan ketidakmampuan ibu setelah melahirkan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, tak ada dukungan sosial, kelahiran prematur, hormonal yang tidak stabil serta kelelahan mengurusi hal ini dan itu dalam urusan rumah tangga.

Ada fenomena yang belum kita sentuh yaitu permasalahan abjeksi. Abjeksi yaitu dimana kita teralienasi dengan apa yang berasal dari diri kita sendiri. Saat pregnant women melahirkan (mengeluarkan) dari posisi aku ialah aku dan bayi itu menjadi aku dan bayi itu. Analoginya ialah saat saya terbiasa membawa ponsel kemana pun saya pergi, kemudian suatu hari saya pergi tanpa membawa ponsel maka saya merasa kehilangan sesuatu. Tanpa ponsel itu saya merasa tidak nyaman akan keberadaan saya. Bayi yang merupakan bagian aku selama 36 minggu menjadi bayi di sana, bukan bersamaku di sini. Keterpisahan ini adalah kehilangan yang menimbulkan depresi. Efek mood swing ini ialah fenomena yang menjadikan affirmasi “two mind in one body” berubah menjadi “each body had one mind”.[1]

Jadi, kondisi keterpisahan ini membuktikan adanya sesuatu yang “hidup” dari dalam diri “saya” kemudian ia menjadi mandiri di luar diri ‘saya’ (pregnant women). Fetus itu adalah diri saya, di mana ia dependen terhadap saya kemudian akan berkembang di luar diri “saya” menjadi seseorang yang independen, memiliki historisnya sendiri, identitasnya sendiri.

MISTERIUM

Adalah hal yang misterius bahwa mengapa kita memiliki rupa mirip ayah atau mirip ibu. Terkadang ada pepatah tua mengatakan “buah itu tidak akan jatuh jauh dari pohonnya” yang berarti seorang anak tidak akan berbeda jauh dari orang tuanya baik itu rupa, karakter, tingkah laku, tutur kata-suara, dan lain-lain. Apakah hal ini hanya didasarkan pada kehidupan sosial atau keterpengaruhan dalam lingkungan atau internalisasi? Namun, bagaimana sebuah gen baru yang melebur menyimpan informasi mengenai perpaduan bentuk wajah dari penyumbang gen? Gen adalah materi atau visible think namun informasi bersifat unvisible. Gambarannya sebagai berikut:


Gambar 1: http://img407.imageshack.us/i/adnstatic.png/

Gambar 2: http://img718.imageshack.us/i/adnstatic2.png/


Menurut Gregor Mendel, tiga unsur pembentuk gen menyimpan informasi dan bersama protein disebut RNA sebagai ekspresi genetik memainkan fungsi penting dalam pembentukan (form-ing). Namun, secara ilmiah, mereka tidak dapat membuktikan bagaimana komponen kimiawi tersebut menyebabkan form. Mendel pun hanya menjelaskan peluang pencampuran dua gen yang berbeda dalam menghasilkan konstelasi gen baru. Ia tidak dapat menjelaskan bagaimana protein dan glukosa menyimpan informasi mengenai form secara unik dan misterius. Jadi, jawaban yang dapat saya tawarkan ialah material-visible (gambar 1) adalah argumen ilmiah dalam menjelaskan cara kerja pembentukan form, information-invisible (gambar 2) dapat terkandung dalam material-visible ialah bersifat intelligible-mind. Hal ini berarti sebuah life energy yang sulit kita buktikan dalam material namun terkandung di dalamnya. Ia adalah gerak (movement). Material with mind as movement.[1]

KESIMPULAN

Pregnancy dan child birth adalah eksperimentasi dalam pembuktian keberadaan relasi mind and body. Yang perlu digarisbawahi ialah cara kerja relasinya bukan secara bilogis pregnancy itu apa atau mengapa depresi secara psikologis dapat terjadi. Contoh ekspreimen itu dapat menjadi pola pikir kita bagaimana hal material (body) dan mind saling berelasi, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan.

“angin itu tidak berbentuk

Ber-nafas pun tidak bisa kita jelaskan bagaimana caranya

Angin hanya ada ketika kita rasakan

Meski tidak terlihat, ia dapat menyentuh

Sehingga dapat kita rasakan

Sama seperti mind, kita dapat merasakannya.”



[1] Perlu digarisbawahi bahwa kata “with” bukan berarti mind adalah sesuatu yang ekstra melainkan “must be” agar material dapat digerakan. Mind-body adalah unitas meski substansinya berbeda.


[1] Kondisi keterpisahan ini terjadi pula pada post-abortion. Psikologis seseorang yang melakukannya akan merasa bersalah, kemudian menjadi depresi.