Solipsisme dan Absurditas

Apakah sebuah kata dapat sampai pada kepenuhan makna hanya dengan pendefinisian? Padahal secara faktual sebuah kata mengalami perubahan makna. Ini merupakan permasalahan bahasa apabila pertanyaan pertama ialah “apabila solipsisme berarti hanya diri kita yang mengetahui maka untuk apa kita menuliskan definisi tersebut?” Saya memiliki kecurigaan bahwa solipsisme tidak berhenti pada hilangnya komunikasi. Kedua, “apabila solipsisme berarti hanya diri kita yang mengetahui kemudian saya menuliskannya untuk diri saya sendiri maka bukankah kita akan terjatuh pada kondisi absurditas?” Ada perlunya kita kembali memeriksa kata solipsisme. Apakah pengertian solipsisme dapat dipertahankan? Apakah ada keterkaitan antara solipsisme dengan absurditas?

Permasalahan pertama ialah permasalahan definisi. Di dalam tugas pertama, saya mengambil definisi solipsisme dari kamus filsafat karangan Loren Bagus. Saya ialah eksistensi yang independen mengakibatkan suatu penegasian secara alamiah terhadap keberadaan orang lain. Eksistensi orang lain ialah dependen terhadap saya. Kesadaran saya sajalah yang membentuk adanya keberadaan orang lain. Apakah lantas solipsisme tidak dapat dikomunikasikan? Saya mengindikasikan adanya penyakit dalam penggunaan kata solipsisme, pertama solipsisme ini ialah sebuah penyakit yang kita ketahui dan tidak menyerang kita. Kondisi ini ialah ada pasien yang sedang menderita penyakit X yang kemudian kita namakan solipsisme. Penyakit solipsisme ini dapat kita komunikasikan rekan sejawat agar berhati-hati terhadap penyakit ini. Kedua solipsisme ini ialah penyakit yang sedang menyerang kita. Saya mengalami penyakit X yang tidak saya ketahui namun dapat menghasilkan epistemologis kemudian saya dapat mengkomunikasikan gagasan epistemologis ini kepada orang lain dalam bentuk variabel Y. Faktanya, solipsisme menghasilkan variabel Y yang dapat dikomunikasikan dan memajukan peradaban modern. Contohnya Descartes yang diindikasikan berpenyakit solipsisme menyebabkan kemandirian berpikir. Ketiga, solipsisme ialah sebuah kesalahan definitif dan kini tidak lagi mungkin diterangkan secara utuh. Kondisi gagalnya pendefinisian sebagai proses identifikasi terhadap penyakit karena implikasinya berjalan sebaliknya. Akibatnya ialah solipsisme tidak mengimplikasikan ketiadaan komunikasi atau ini bukan solipsisme.

Sebenarnya definisi solipsisme dapat dibantahkan karena Descartes mengimani adanya substansi langsung dari Tuhan sehinga Cogito itu ada. Landasannya ialah apabila solipsisme itu yang ada ialah diri sendiri, mengapa Descartes masih bergantung pada substansi Tuhan? Saya menangkap dari definisi Loren Bagus bahwa solipsisme sama dengan mengangkat diri kita menjadi Tuhan karena “saya adalah totalitas eksistensi” yang mengadakan keberadaan realitas. Pertanyaan selanjutnya ialah siapa yang telah menindikasikan Descartes sebagai solipsisme?

Permasalahan kedua ialah bagaimana kita dengan tepat menjelaskan hubungan antara solipsisme dan absurditas. Solipsisme telah dijelaskan di paragraf sebelumnya bahwa terurai menjadi berbagai kondisi dan dapat dikomunikasikan. Komunikasi mensyaratkan kehadiran makna. Berbeda dengan absurditas yang mengalami ketiadaan makna. Kondisi ketiadaan makna ialah kita tidak tahu apa yang kita perbuat dan untuk apa. Albert Camus menggambarkan seorang manusia yang terjebak dalam rutinitas keseharian. Apabila anda pernah menonton film “Veronica decide to die” maka dapat terlihat betapa hidup sudah tak berarti bagi diri saya dan satu-satunya jalan ialah bunuh diri. Apabila manusia hidup untuk mati mengapa saya tidak boleh memutuskan mati sekarang juga? Toh nantinya saya akan mati juga.

Solipsisme dapat menjadi absurd apabila tidak dapat dikomunikasikan sehingga ia tidak memiliki arti apapun karena yang ada ialah dirinya sendiri. Bila Descartes tidak mengkomunikasikan epistemologi dalam The Meditation maka ia mengidap penyakit solipsisme. Sebaliknya bahwa ia mengkomunikasikannya dengan cara menulisnya dan mempublikasikannya berarti dia tidak mengidap penyakit tersebut. Saat saya menulis ide pikiran saya ada kemungkinan saya mengidap solipsisme bahwa saya mengutarakan ide dari diri saya sendiri untuk diri saya juga. Tetapi kata-kata dimaksudkan bukan untuk kata-kata itu sendiri melainkan untuk dikomunikasikan maka solipsisme tidak menjadikan dirinya absurd.

Solipsisme pun dapat menjadi absurd ketika Descartes mengunggulkan reason sehingga meniadakan dimensi kesadaran moral. Ia menghadirkan subjek yang Cogito sebagai penghasil utama epistemologi menyebabkan kesamaan terhadap seluruh manusia tanpa memandang identitas. Levinas menyebutnya penyakit the sameness. Penyakit ini mengandung absurditas karena meniadakan the I dan the Other. Camus menyebutnya sebagai ketidakpedulian terhadap permasalahan sekitar. Solipsisme akan berguna sejauh bagaimana cara berpikir kita menghasilkan pengetahuan misalnya apa yang terjadi pada Immanuel Kant. Namun, solipsisme dapat menjadi absurd bila ia menghilangkan kesadaran moral manusia atau meniadakan kritisisme dalam berpikir.

0 komentar:

Posting Komentar