Pemikiran Eksistensi Heidegger & Posisinya Terhadap Alam

Manusia dan Alam

Heidegger membedakan antara manusia dengan bukan manusia (the human and the nonhuman). Perbedaan ini mengangkat term eksistensi yang terekspresikan hanya untuk manusia saja. Hal ini dapat kita analisis dengan membaca statement Heidegger yaitu:

Heidegger writes: “The being that exist s man. Man alone exixts. Rocks are, but they do not exist. Trees are, but they do not exist. Horses are, but they do not exist. Angles are, but they do not exist. God is, but he does not exist.”

(Heidegger menulis: “being yang eksis ialah manusia. Hanya manusia yang eksis. Batu ada tetapi ia tidak eksis. Pohon ada tetapi tidak eksis. Kuda ada, tetapi mereka tidak eksis. Malaikat ada, tetapi mereka tidak eksis. Tuhan ada, tetapi ia tidak eksis.”)

Mengapa hanya manusia sajalah yang dibilang eksis oleh Heidegger? Yaitu karena kesadaran yang menjadikannya berbeda secara radikal dengan being yang lain. Jadi, kealamiahan eksistensi manusia ialah masuk akal mengapa manusia dapat menghadirkan being dan mengapa ia dapat menyadarinya.

Heidegger menyebut manusia yang eksis ialah Dasein, secara literal berarti ia berada di sana (“being-there”). Manusia ialah being yang ada di dunia dan ia harus keluar tinggal di kehidupannya dan melalui hubungan yang tidak terpisahkan terhadap dunia. Kemudian, Heidegger membedakan anatara manusia “being-in-the-world” dengan “being-in-the-midst-of-the-world”. “being-in-the-world” ialah manusia yang bereksistensi, sedangkan “being-in-the-midst-of-the-world” ialah manusia yang mengalami penurunan level pada objek material. Untuk menyatakan “being-in-the-midst-of-the-world”, Heidegger menamakannya sebagai ketenggelaman (fallenness-Verfallenheit). Ketenggelaman ini dikarenakan dunia yang bertransformasi oleh teknologi manusia. Heidegger menyebut dunia ini sebagai dunia publik. Dunia ini dihuni oleh das Man, ialah manusia sebagai instrumen untuk dimanipulasi dan berguna kepada publik. Contohnya ialah buruh di sebuah pabrik. Ia tidak lain adalah sebuah mesin yang tenggelam dalam kerutinitasannya sehingga ia lupa akan ontologi being yang mengakar dalam dia. Ia tidak paham apa yang ia kerjakan, tidak punya perasaan yang mendalam, hanya ketakutan yang picik, dan kecemasan neurosis. Sehingga, menurut Heidegger ia tidak percaya akan manusia yang menemukan arti dan kebenaran. Manusia sekarang hanya mencari kebenaran yang bersifat praktis.

Manusia, Teknologi dan Alam

Mengada

Istilah

Cara Mengada

Sikap Dasein

(Seinend)

Sehari-hari

(Seinart)

Sehari-hari

Zuhandenes

Alat-alat

Untuk sesuatu

Mengurus atau

(Um-Zu)

Menangani

(Besorgen)

Vorhandenes

Benda-benda

Tersedia begitu

Tanpa minat

yang bukan

saja

menangani

alat-alat

Mitdasein

Sesama manusia

Ada-bersama

Merawat atau

atau orang-orang

Mitsein

memelihara

lain

(Fürsorge)

Tebel[1]

Kita dapat memahami tabel diatas bahwa terdapat hierarki nilai antara das Sein, Zuhandenes, Vorhandenes danMitdasein. Vorhandenes ada begitu saja, merupakan bahan untuk manusia yang diolah dengan Zuhandenes.

Alam ialah apa-apa yang tersedia begitu saja di sekitar manusia. Alam dan manusia ialah faktisitas yaitu bersifat niscahya, kesadaran terlempar. Manusia cenderung mempertahankan hidupnya. Dalam usaha untuk mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan sesuatu. Sesuatu itu ialah alat yang diciptakan manusia dengan tujuan tertentu. Penciptaan terjadi, selain karena diharuskan oleh kondisi objektif manusia, tentunya juga karena alam memungkinkannya. Manusia memanipulasi alam dalam rangka mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan sesuatu, dan dalam rangka pemenuhan atas kebutuhan tersebut manusia menciptakan sesuatu.[2]

Konsep Heidegger dalam eksistensi manusia melalaikan alam sebagai bagian dari being in the world. Alam hanya bahan semata-mata untuk teknologi:

Starting from nature, there is no way of conceiveing the mode of being of the world and worldness; indeed, nature must be interpreted the other way round, starting from the existential structure of being in the world. Nature as such is indeed absent from Heidegger’s sketch of a ‘natural conception of the world.

Karl Löwith is, however, quite right to suppose that nature is not just the readiness in Being and Time, but indeed not addresses in its own right at all: ‘In Being and Time nature in its naturalness is ignored and, in contrast to the readiness to hand of equipment and to historical exixtence of human determinate exsistence, relegated to the most subordinated concept of the merely “present at hand”.”[1]



[1] Joanna Hodge, Heidegger and Ethics (New York: Rotledge, 1995), page 138.



[1] Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Mnuju Sein und Zeit (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Pusat Penelitian STF. Driyakara, 2003), hal. 60.

[2] Rizky Muhammad, Netralitas Teknolgi sebagai Konsekuensi atas Radikalisasi Pemikiran Heidegger tentang Teknologi (Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok2005), hal. 1

0 komentar:

Posting Komentar