Resensi Novel:The Witch of Portobello


Judul : The Witch of Portobell (Sang Penyihir dari Portobello)

Penulis : Paulo Coelho

Alih Bahasa : Olivia Gerungan

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 307 halaman

Perempuan itu adalah Athena dengan nama asli Sherine Khalil. Diadopsi oleh pasangan yang tidak mendapatkan keturunan. Ibunya, Samira R Khalil seorang ibu rumah tangga yang hidup di Beirut, memilihnya di antara bayi yang terdapat di panti asuhan negara Romania. Sebelumnya, kepala panti asuhan menyuruhnya untuk tidak mengambil bayi perempuan tersebut karena ibu yang melahirkannya adalah seorang Gipsi. Namun, ia tidak berpindah hati dan menetapkan keputusan untuk mengadopsinya.

Athena pun bertambah umur menjadi anak berkulit putih dan cantik. Namun, ada suatu keanehan yang dianggap Ibu angkatnya tidaklah normal bahkan sebuah kutukan bahwa di usia dini ia sudah intens ke Gereja dan hafal Alkitab di luar kepala. Ibunya heran karena yang seharusnya anaknya lebih menyukai televisi atau seharusnya ia bermain sesuka hati dibandingkan Alkitab. Selain itu, ia suka bermain dengan teman kasat matanya dan boneka-boneka yang dianggapnya bisa berbicara. Lebih parah lagi yaitu saat ia melihat seorang wanita berpakaian putih seperti Perawan Maria. Ibunya syok dan mengambil strategi untuk mengubahnya. Bukan perubahan yang didapatkan sang ibu tapi keadaan Athena yang tambah parah pada saat anaknya bercerita melihat neraka sudah mendekat. Ibunya sudah memastikan itu bukan menstruasi sesuai perkirannya. Namun, Athena tetap menangis tanpa berhenti. Keesokan harinya memang terjadi pembunuhan, dan perang antar klan dimulai. Para warga terbunuh selama 1 tahun dan masih berlangsung. Sherine berkata bahwa perang ini akan berlangsung sangat lama dan sangat lama. Orang tuanya bingung dan kemudian memutuskan untuk pindah ke Inggris, London.

Saat ia di London, ia melakukan aktifitasnya seperti biasa hingga ia bertemu dengan seorang laki-laki dan mereka berniat untuk menikah meski ditentang oleh kedua keluarga. Hal itu terlaksana dan mempunyai satu orang anak bernama Viorel. Namun, pernikahannya tidaklah semulus apa yang diperkirakan karena kesulitan ekonomi dan kekurangan perhatian suaminya yang sibuk berja terhadap kehidupan istri dan anaknya. Sehingga, mereka memutuskan perceraian. Athena dan anaknya hidup di sebuah apartemen dan ia bekerja di sebuah bank yang tidak jauh dari sana. Saat ia hendak menemani anaknya tidur, ia mendengar sebuah musik yang berisik berasal dari tetangga lantai bawahnya dan menghampiri kamar tersebut dan menyuruh tetangganya untuk mengecilkan volume suara. Betapa anehnya ketika ia melihat banyak orang yang sedang menari berputar dan mata terpejam. Ia menanyakannya kepada pemilik kamar apartemen yang sekaligus adalah pemilik apartemen apa yang sedang dilakukan mereka. Penghuni apartemen itu menjelaskan bahwa tarian itu ditulis oleh kakeknya sebagai catatan dari kenangan istrinya bahwa tarian tersebut untuk mencapai trans dan melihat sebuah cahaya abadi yang disebut Vertex. Dari situlah Athena tertarik untuk mengikuti ritual tarian tersebut. Dan pekerjaannya di bank semakin mulus. Begitu juga karyawan bank yang lain sehingga terjadi peningkatan yang signifikan akan kinerja bank tersebut. Adapun seorang manajer yang khawatir melihat perubahan tersebut dan berbincang-bincang dengannya untuk menemaninya membuat presentasi di seluruh manajer yang berkumpul dari seluruh dunia agar bank-bank dari seluruh dunia dapat menerapkan manajemen yang mereka pilih. Mereka menjelaskan mengenai tarian tersebut. Sebagian besar manajer merasa aneh dan tidak masuk akal. Namun, tidak halnya dengan Kepala Manajer yang bercerita tentang kehidupannya yang kosong. Sampai suatu saat ia tertarik akan Athena dan mempromosikannya ke Dubai.

Di Dubai, Athena bertemu Nabil Alaihi seorang koki yang menjamu orang-orang asing yang singgah di padang pasir. Ia bersama anaknya bertanya apakah ia dapat menunjukan sesuatu yang berharga untuknya? Awalnya perempuan itu menolak, namun ia melihat sesuatu yang lain dalam diri perempuan itu dan mengajarkannya Kaligrafi. Ia mengajarkan kesabaran. Dengan tulisan itu ia juga bisa mencapai trans dengan memusatkan jiwa dan otak untuk mendapatkan sebuah manifestasi. Ternyata, keinginan Athena tidak hanya menguasai konteks Kaligrafi saja karena di dalam hidupnya masih ada ruang kosong sehingga ia perlu mencari sesuatu. Sesuatu itulah yang ia cari ke rumah kedua orang tua angkatnya. Di sana ia bertanya mengenai asal-usul ibu yang pernah melahirkan dan mencampakkannya ke dalam panti asuhan. Ibunya pun merasa khawatir tentang ini sejak dulu, bahwa suatu saat anaknya akan kembali kemana orang tua aslinya. Tapi apa daya ibunya dan ayah Athena pun mendukungnya untuk pergi ke Rumania mencari ibunya yang berasal usul sebagai Gipsi.

Sesampainya di Rumania banyak orang yang ia jumpai. Salah satunya ialah Edda yang nantinya akan menjadi guru spiritualnya. Edda mengajarkan bahwa orang-orang yang tidak pernah puas seperti kita dilahirkan untuk menjadi berbeda. Dan menjadi berbeda adalah sebuah pencerahan dan kebanggan tersendiri. Edda menuntun Athena untuk mencari pelajaran lain dengan mengajari orang lain tanpa bekal pengetahuan apa pun. Selain Edda, ia bertemu seorang laki-laki yang berprofesi sebagai jurnalis, dan ia sangat mencintai Athena. Namun, cintanya tidak terbalas karena menurut pengakuan, Athena memiliki kekasih di School Yard. Dari perjalanannya ia pun bertemu seorang ibu yang melahirkannya, bernama Liliana. Athena pun diam seribu bahasa. Namun, ibunya berhasil menceritakan kejadian malang yang menimpa Athena karena ibunya mencintai laki-laki asing diluar kelompok gipsi sehingga apabila ia memelihara anak terlarang itu maka ia harus diusir dari komunitasnya. Setelah bertemu dengan ibunya ia pun harus kembali ke orang tuanya karena ruang kosong itu tidaklah menjauh dan menghilang. Ia berkonsultasi pada Edda dan menjalani ritual di Scotlandia dan pulang pergi menemui keluarga dan mengajar ritual kepada pemain teater, Andrea, kekasih sang Jurnalis. Ritual tersebut mengajak semua anggota teater untuk memahami pemikiran dan perasaan ynag menyatu kepada bumi. Hal yang aneh menurut mereka sehingga mereka bingung dan sebagian besar dari mereka kecuali sutradara menginginkan kembali suasana seperti itu. Lalu, diadakanlah pertemuan itu kembali di apartemen Athena. Apartemennya tidaklah sepenuh apartemen lain. Ruangannya sangatlah sederhana, bercat putih dan hanya ada meja, radiotape dan rak kaset musik. Di sana, di waktu yang telah mereka tentukan, Athena mengajak untuk menari namun dengan melawan irama yang ada. Beberapa hanya diam, yang lain protes, dan satu menari dengan apa yang diinstruksikan. Athena pun menari melawan irama, lalu ia berputar-putar dan berbicara. Ia mengaku sebagai Hagia Sofia namun menggunakan badan Athena. Ia menunjukan masa depan salah satu aktor bahwa ia harus diperika secepatnya oleh dokter karena ada penyakit tertentu dalam tubuhnya. Menunjukkan pula pada sang jurnalis bahwa ia harus berhenti minum obat penenang dengan begitu maka ia dapat tidur dengan pulas. Dan begitu pula dengan semua orang di dalam ruangan itu. Sesaat setelah itu, ia kembali normal. Penjelasn itu ialah karena Cahaya Sang Ibu Agung sedang mengambil alih dirinya dan menunjukkannya masa depan. Apa yang dikatakan Hagia Sofia memang benar saat semua anggota itu melakukan apa yang diperintahkannya.

Kesokan harinya para tetangganya pun penasaran sehingga ritual itu dijalankan setiap minggu. Cerita itu pun menyebar dengan cepat dan Apartemennya sudah tidak mampu menampung orang ribuan sehingga harus dilaksanakan di gedung sebelah yang tidak terpakai. Ia dijuluki The Witch of Portobello karena kawasan apartemennya di daerah Portobello. Tak lama, ia mendapat serangan dari Pendeta dan mengajak dari anggota geraja untuk berdemonstrasi menutup ritual sesat itu yang menyembah Ibu Agung. Athena pun tidak lekas mengurungkan niatnya untuk berhenti melakukan ritual itu. Menurutnya, ini adalah misi Ibu Agung. Namun, keadaan pun semakin parah karena ia dituduh oleh masyarakat setempat dan mengajukannya ke pengadilan karena mengabaikan dan tidak bisa merawat anaknya. Athena sedih dan ia memutuskan untuk berhenti dari misinya dan ia tidak bisa terpisah dari anaknya.

Meski misinya telah pudar, ia menyerahkan misi itu kepada muridnya, Andrea McCain. Di akhir cerita, kekasihnya dari kepolisian di School Yard membantunya merekayasan kematian Athena agar kehidupannya tidak diteror oleh masyarakat sebagai aliran sesat dan agar kehidupan keluarganya damai.

Catatan filosofis dalam novel ini dan baik untuk direnungi:

Semua orang mencari guru yang sempurna, tapi meskipun pengajaran mereka mungkin saja menakjubkan, semua guru juga hanyalah manusia, dan orang-orang sulit menerima kenyataan ini. Jangan campuradukkan guru dengan pengajarannya, ritual dengan sensasi di dalamnya, perantara sebuah simbol dengan simbol itu sendiri. Tradisi terhubung kepada perjumpaan kita dengan kekuatan-kekuatan kehidupan, bukan kepada orang-orang yang memungkinkan perjumpaan itu terjadi. Sungguh kasihan orang-orang yang mencari gembala dan bukannya mengharapkan kebebasan! Perjumpaan dengan energi superior bisa terjadi pada semua orang, tetapi jauh dari mereka yang mengalihkan tanggung jawab ke pundak orang lain. Waktu kita di Bumi ini sakral adanya, dan kita seharusnya merayakan setiap detiknya.(hal. 22&23)

Ada gagasan yang setiap kali kita pergi ke supermarket bahwa mereka menggunakan musik yang ditransmisikan untuk mendorong pelanggannya membeli lebih banyak. (hal. 83)

Meski Plato mengemukakan bahwa jiwa adalah yang terpenting, ia harus terhubung pada otakmu agar semua berjalan dengan lancar dan dapat melakukan apa saja yang engkau kehendaki. Pemikiran ada terlebih dahulu sebelum kata-kata. Tubuh harus dididik agar jiwa termanifestasikan di dalamnya. (hal. 95)

Apa itu guru? Dia bukanlah orang yang mengajarkan sesuatu, tapi orang yang menginspirasi muridnya untuk mengupayakan yang terbaik demi bisa menguak apa yang sesungguhnya sudah diketahui sang murid.(hal.96) Tradisi yang sebenarnya adalah ini: sang guru tak pernah memberitahu muridnya apa yang harus dia lakukan. Mereka sekedar teman seperjalanan, berbagi rasa, ketidaknyamanan ‘pengasingan’ ketika dihadapkan pada persepsi-persepsi yang terus berubah-ubah, batas pandang yang terus meluas, pintu-pintu yang tertutup, sungai-sungai yang kelihatannya menghalangi jalan mereka, dan pada kenyataannya tidak seharusnya disebrangi, melainkan disusuri. Hanya ada satu perbedaan antara guru dan muridnya: sang guru sedikit lebih berani dari sang murid. Karenanya, ketika mereka duduk berhadapan di depan satu meja atau di depan perapian dan bercakap-cakap, yang lebih berpengalaman mungkin akan berkata, “Kenapa kau tidak melakukan itu?” Tapi dia tak akan pernah berkata, “Pergilah ke sana dan kau akan tiba di tempat yang pernah kucapai,” karena setiap jalan dan setiap tujuan adalah unik bagi setiap individu. Guru yang sebenarnya. Memberikan muridnya keberanian untuk menggoyahkan dunianya dari keseimbangan, meskipun sang murid ketakutan akan hal-hal yang mereka temukan, dan lebih takut lagi akan apa yang mungkin muncul berikutnya.(hal. 243)

Apa sebenarnya kebahagiaan itu? Cinta, kata orang. Tapi cinta tidak dan tidak akan pernah membawa kebahagiaan. Sebaliknya, dia adalah kegelisahan yang kekal, medan peperangan; dia adalah malam-malam yang tak terlelap, terus mempertanyakan diri kita apakah sudah melakukan hal yang tepat. Cinta sejati terbentuk dari gairah dan derita.

Apakah kedamaian? Kalau kita melihat sang Ibu, dia tak pernah damai. Musim dingin berperang dengan musim panas, matahari dan bulan tidak pernah bertemu, harimau mengejar manusia, yang takut pada anjing, yang mengejar kucing, yang mengejar tikus, yang menakutkan bagi manusia.

Uang membawa kebahagiaan. Baiklah. Kalau demikian, semua orang yang sudah mengumpulkan cukup uang untuk meraih standar kehidupan yang tinggi sudah bisa berhenti bekerja. Tapi lalu mereka menjadi lebih bermasalah daripada sebelumnya, seperti takut kehilangan semuanya. Uang menarik lebih banyak uang, itu benar. Kemiskinan mungkin membawa ketidakbahagiaan, tapi uang tidak selamanya membawa ketidakbahagiaan.

Menghabiskan banyak waktu dalam hidup untuk mencari kebahagiaan. Apakah rasa senang? Rasa senang itu seperti seks-ada awal dan akhirnya. Kepuasan, kenikmatan, tapi kebahagiaan? Saat bertanya kepada orang,”Apakah kau merasa bahagia.” Dan mereka menjawab, “Ya, aku bahagia.” Kemudian bertanyalah lagi, “Apakah kau ingin lebih bahagia?”. Mereka akan menjawab, “Tentu saja.” Maka jawaban balasannya hanyalah 3 kata, “Anda tidak bahagia.” (hal. 151)

Dan apakah ada yang lain yang ingin kau pertahankan? Suatu hari nanti, semua yang kau miliki akan harus kau berikan. Pepohonan memberi supaya mereka bisa hidup, karena mempertahankan berarti musnah. Dan di manakah ada kehormatan yang lebih besar daripada yang terdapat dalam keberanian dan keyakinan diri, bukan kemurahan hati, untuk menerima? Hanya sedikit yang bisa kauberikan ketika kau memberi apa yang kau miliki. Ketika kau memberikan dirimulah kau benar-benar memberi. (hal. 184)

Menurut salah satu psikoanalisis Swiss, Carl Gustav Jung, kita semua minum dari mata air yang sama. Mata air yang disebut “jiwa dunia”. Seberapa pun kerasnya kita berusaha menjadi individu yang independen, satu bagian ingatan kita adalah sama. Kita semua mencari bentuk ideal dari kecantikan, tarian, keilahian, dan musik.

Jung biasa membagi perkembangan individual ke dalam empat tahapan: yang pertama adalah Persona-topeng yang kita gunakan setiap hari, berpura-pura menjadi diri kita yang sebenarnya. Kita percaya bahwa dunia bersandar pada kita, bahwa kita adalah orangtua menakjubkan dan bahwa anak-anak kita tidak memahami kita, bahwa bos kita tidak adil, bahwa impian setiap manusia adalah untuk tidak bekerja dan terus-menerus berpergian. Banyak orang menyadari ada yang salah dengan cerita ini, tapi karena mereka tidak ingin mengubah apa pun, mereka dengan cepat menjauhkan pemikiran itu dari mereka. Beberapa orang mencoba memahami apa yang salah, dan berakhir dengan menemukan Shadow-bayangan.

Shadow adalah sisi gelap kita, yang mendikte bagaimana kita seharusnya berlaku dan bertindak. Ketika kita mencoba membebaskan diri kita dari Persona, kita menyalakan sebuah lampu di dalam diri kita, dan kita melihat jejaring laba-laba, sifat pengecut, kekejaman. Shadow ada di dana untuk menghentikan perkembangan kita, dan biasanya dia berhasil, dan kita berlari kembali pada siapa kita sebelum kita mulai merasa ragu. Namun demikian, beberapa orang berhasil bertahan menghadapi pertemuan dengan jaring laba-laba mereka sendiri, dan berkata, “Ya, aku punya beberapa kesalahan, tapi aku baik-baik saja, dan aku ingin melanjutkan. Pada tahap ini, Shadow menghilang dan kita bersentuhan dengan Soul-jiwa. Soul yang dimaksud Jung bukanlah “jiwa” dalam artian religius; dia berbicara tentang kembali pada Jiwa Dunia, sumber segala pengetahuan. Insting menjadi lebih kuat, emosi lebih radikal, interpretasi perlambang menjadi lebih penting daripada logika, persepsi terhadap realitas semakin berkurang dalam kekakuannya. Kita mulai bergulat dengan hal-hal yang sudah biasa bagi kita, dan kita mulai beraksi melakukan hal-hal yang bahkan kita sendiri tak menduga.

Dan kita menemukan bahwa jika kita bisa menyalurkan arus energi yang berkesinambungan itu, kita bisa menatanya mengelilingi suatu titik pusat yang sangat nyata, yang oleh Jung disebut Wise Old Man-pria tua bijaksana-untuk para pria dan Great Mother-ibu agung-untuk para wanita. Mengizinkan hal ini termanifestasi sangatlah berbahaya. Secara gamblang bisa dikatakan, siapa pun yang mencpai tahapan ini memiliki kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai seorang suci, penakhluk roh, nabi. Diperlukan kadar kedewasaan yang amat besar jika seseorang bersentuhan dengan energi dari Wise Old Man atau Great Mother ini.

Bukan hanya orang, masyarakat juga, bisa dikategorikan ke dalam empat tahapan ini. Kebudayaan barat memiliki sebuah Persona, ide-ide yang mebimbing kita. Dalam usahanya untuk beradaptasi dengan perubahan, ia bersentuhan dengan Shadow, dan kita melihat demonstrasi massa, di mana energi kolektif bisa dimanipulasi untuk kebaikan maupun keburukan. Tiba-tiba, karena alasan tertentu, Persona ataupun Shadow tidak lagi cukup manusia, dan kemudian tibalah saatnya untuk melakukan loncatan, hubungan tanpa sadar dengan Soul. Nilai-nilai yang baru mulai bermunculan.(hal. 196-198)

Cinta mengisi segala sesuatu. Dia tidak bisa didambakan karena di sendiri merupakan akhir. Dia tidak bisa dihianati karena dia tidak ada hubungannya dengan kepemilikan. Dia tidak dapat ditawan karena dia adalah sungai dan akan membanjiri tepiannya. Siapa pun yang memenjarakan cinta akan memotong mata air yang mengisinya, dan air yang terperangkap akan menggenang dan membusuk. (hal. 225)

Supaya potongan-potongan kayu yang lebih besar bisa menyala, ranting-ranting kayu bakar harus terlebih dahulu terbakar. Supaya kita bisa mebebaskan energi kekuatan kita, kelemahan kita haruslah lebih dulu mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan dirinya. Supaya kita bisa memahami kekuatan yang kita bawa dalam diri kita dan rahasia-rahasia yang sudah terbuka. Mula-mula kita perlu membiarkan permukaannya--harapan-harapan, ketakutan, penampilan—terbakar habis. (hal. 268)

Cinta bukanlah suatu kebiasaan, sebuah komitmen, atau utang. Cinta bukan apa yang dikatakan lagu-lagu romantis pada kita-cinta adalah cinta. Tanpa definisi. Cintailah dan jangan bertanya terlalu banyak. Cukuplah mencintai saja.(hal. 292)

Kelebihan Novel ini

Novel ini, menurut pembaca, ingin menunjukkan bagaimana pemikiran Carl Gustav Jung bekerja sehingga memudahkan dalam pemahaman. Selain itu, terdapat unsur eksistensialis di mana sang tokoh utama yang dibicarakan dengan berani memilih apa yang ia inginkan secara kehendak, rasio dan perasaannya. Ia menjadi dirinya sendiri bukan apa yang dikehendaki oleh masyarakat, teman-teman bahkan orang tua angkatnya yang telah melakukan internalisasi primer yang kuat. “Free choise” adalah sesuatu yang membuatnya unik dan independen. Itu adalah salah satu cara untuk menghilangkan ruang kosong yang terdapat dalam diri manusia.

Kekurangan Novel ini

Kekurangan yang apabila dibaca oleh ‘man in the street’,spekulasi pembaca, akan menanggapi bahwa memang benar bahwa cerita tersebut ingin menunjukkan bahwa daya spiritualitas itu dapat dicapai dengan cara lain, misalnya dengan menari Wirling, sehingga nama ‘Ibu Agung’ benar-benar ada. Atau hanya sekedar cerita mengenai sekte sesat yang menamakan diri Ibu Agung. Bila dipahami secara positif melalui perenungan bahwa secara metafisis ketidakadilan dari KeTuhanan dengan label Bapa atau Father menyebabkan adanya hierarkis di dalam sosial. Yaitu budaya parthiarkhal berada di atas, sedangkan kaum perempuan tidak mendapat posisinya yang seimbang. Menurut tafsir pembaca, penulis ingin menunjukkan sisi Feminis Tuhan bukan menunjukkan ada sekte sesat. Sehingga, pembaca dapat menimbang ulang akan ketidakadailan di dalam masyarakat.[1]


[1] Tentang Feminisme Tuhan tidak hanya dibahas Paulo Coelho di novel ini tetapi juga di Novel By River Piedra I sat down and Wept.

1 komentar:

Sang Pemimpi mengatakan...

Aku suka sama plot dan gaya berceritanya yang beda. Dari sini kita bisa tau kalo Paulo Coelho itu penulis yang suka bereksperimen, enggak terjebak sama gaya bercerita mainstream dan mencoba cara baru dan nyeleneh untuk menyampaikan kisahnya. Meskipun enggak sebagus Sang Alkemis, tapi aku tetap suka dengan novel ini. Ada banyak pesan juga, meskipun beberapa diantaranya aku enggak ngerti, heheheh.
Btw salam kenal ya, Kreta Amura

Posting Komentar